Apakah yang kalian lakukan saat ada masalah? Kepada siapa kalian bercerita terkait masalah yang kalian sedang hadapi? Apakah kalian bisa cerita pada keluarga dekat atau teman dekat?
Jika kalian bisa merasakan dan melakukan semua itu, kalian adalah orang kaya bagiku. Kalian memiliki sesuatu yang begitu mewah.
Iya, kalian bisa memiliki sesuatu yang begitu mewah ketika kalian bisa dekat dengan orang yang bisa diajak cerita da tempat kalian berbagi masalah. Mungkin bukan berbagi, lebih tepatnya menceritakan masalah tanpa takut untuk dihakimi atau disalahkan dengan cara apapun. Bercerita tanpa takut diremehkan atau jadi bahan tertawaan.
Tak semua orang bisa dapat hal seperti itu. Tak semua orang bisa merasakan betapa nikmatnya bisa cerita tanpa harus dihakimi atau dikucilkan. Aku tak pernah dapat hal yang seperti itu. Aku tak pernah merasakan hal yang seperti itu. Tak ada orang yang bisa mengerti apa yang sebenarnya aku hadapi dengan sesungguhnya.
Yang mereka tau, aku hanya seorang anak kemarin sore yang sama sekali tak tau apa-apa. Yang mereka tau, aku hanyalah anak yang lemah. Anak yang pemarah dan anak yang tak tau berterima kasih.
Pakdhe juga tak bisa berbuat banyak. Selama ini, dia hanya bekerja. Dia hanya sibuk mencari penghidpan bagi kami. Padahal, gaji yan dia terima sebenarnya tak seberapa. Gajinya tak sebanding dengan pekerjaan yang harus dia lakukan sehari-hari.
***
Tetes demi tetes air mata tak terasa keluar. Ismail tak kuasa menahan kesedihan yang kali ini ada di hatinya. Entah kenapa, dia sudah gagal untuk mencoba mengerti terkait Umar. Dia yang sudah dekat dengan Umar bahkan sejak sang ayah pergi merasa sangat bersalah karena tak mampu menjalankan tugasnya sebagai seorang ayah. Dia gagal untuk memberikan hak Umar dengan utuh.
“Le, maafkan Pakdhe Le. Maafkan Pakdhe.” Ismail meraih tubuh Umar yang bergetar akibat cerita yang baru saja dia keluarkan. Tubuh itu bergetar karena segala macam amarah dan kecewa yang berhasil dia keluarkan hari ini.
“Pak Ismail.” Lelaki itu langsung saja menepuk bahu dan menenangkan Ismail yang tampak sangat kecewa. Kekecewaan itu bukan kepada siapapun. Kekecewaan itu justru pada dirinya sendiri.
“Tidak ada yang lebih sakit saat salah satu anakku tidak bisa terbuka padaku. Itu berarti baku sudah gagal menjadi tempat yang nyaman untuk dia bercerita. Aku gak tau, kenapa aku baru menyadari sekarang? Padahal, mantri desa sudah membnerikan peringatan saat dia masih baru masuk SD.” Lelaki itu tersenyum. Yang paling penting, sekarang mereka sudah berada di sini.
“Pak, yang paling penting saat ini adalah bagaimana dia bisa diselamatkan. Yang paling penting bagaimana Umar mendapat tempat yang nyaman untuk dia bercerita dan berbagi keluh-kesah. Karena aku melihat dia tak ada tempat yuang begitu nyaman untuk sekedar menaruh masalah yang sebenarnya terlihat sepele. Masalah sepele jika gak ditangani dengan baik akan berdampak buruk.” Ismail terdiam dan masih saja memegang tubuh Umar. Umar hanya bisa terdiam dengan apa yang baru saja dia ceritakan. Dia tak bisa berkomentar. Dia sudah terlanjur sakit hati dengan perjalanan hidupnya. Jalan hidup yang tak adil baginya.
Lelaki itu berganti pandangan dia memandang Umar yang sudah lebih tenang. Pandangan yang lebih bersinar dari sebelumnya. Memang belum ada tawa dari wajah itu. Tapi jelas sekali terlihat jika pandangan itu sudah jauh lebih tenang.
“Umar. Lihat Pakdhe Le. Coba lihat Pakdhe.” Umar hanya bisa menuruti. Tak ada niat untuk membantah. Dia mulai percaya. Dia mulai bisa membangun kepercayaan pada orang lain.
Ismail yang melihat itu entah harus bagaimana. Bagaimana dia bisa dipercaya oleh Umar seperti itu? Bagaimana Umar bisa percaya pada orang dekatnya? Dengan orang dekat saja sulit sekali percaya, apalagi orang jauh.