Kemana ibu? Pertanyaan itu yang terus terbayang dalam benakku. Kemana dia? Dimana tempat tinggalnya sekarang ini? Kenapa semua itu membuat dia begitu saja melupakan aku? Apakah aku sudah tak ada lagi di hatinya?
Tak enak tingal bersama orang lain. Tak nyaman jika aku harus bersama orang lain terus. Bukankah lebih nyaman jika aku bisa tinggal berdua denga ibu kandung aku?
Tak adil rasanya wanita yang menggantikan posisi ibu. Dia tetap bukan ibuku. Dia tetap ibu bagi kedua saudaraku, bukan ibu untukku. Dalam hati, aku selalu bertanya. Apakah aku memang tak layak untuk dicintai?
Aku memang kecewa. Dia lebih memilih orang lain daripada aku. Aku tak peduli dan bingung sendiri.
***
Mereka akhirnya kembali ke tempat mereka untuk istirahat. Umar sendiri sudah dipastikan tertidur dengan nyenyak. Fadhil dan Imran terlihat sudah berada di tempatnya masing-masing. Beristirahat dan tidur. Mereka bertiga tetap harus sekolah esok hari. Kedua orang tua mereka juga harus bekerja masing-masing. Ismail sendiri tak bisa tidur dengan nyenyak dia masih saja khawatir jika malam itu Umar tiba-tiba terbangun dan berbuat ulah.
Ismail sendiri akhirnya beralih untuk tidur di ruang tamu. Tepat di samping kamar ketiga anaknya. Dia sangat khawatir karena bukan kali ini saja Umar berbuat ulah, terutama di malam hari.
“Umar, kau tidur kan Nak? Aku akan tidur di sini sementara waktu.”
***
Siang itu, Umar hanya termenung di tepi sungai desa. Sungai desa Wanarandu yang terlihat begitu indah. Hamparan sawah yang terlihat sepanjang aliran sungai desa terlihat begitu indah dan menawan. Beberapa warga juga banyak beraktivitas di sawah masing-masing.
“Umar, sedang apa kau di sini Le? Pulang sekolah bukannya langsung pulang tapi malah di sini.” Umar hanya terdiam dan menatap lelaki yang usianya tak jauh beda dengan Ismail.
“Le, mau ikut bareng? Pakdhe mau pulang.” Ismail yang kebetuilan juga berada di situ langsung saja mendekat mengetahui keponakannya juga berada di tempat itu. Dia mendengar sapaan dari lelaki yang ada di hadapan Umar sehingga dia tau jika Umar juga ada di sini.
Umar sendiri tak berani membantah ajakan dari Ismail. Lelaki yang tadi sempat mengajak Umar bicara langsung saja mendekat dan hanya menatap Umar.
“Ditanya bukannya jawab malah bengong. Gimana sih nih anak?” Lelaki itu sepertinya tak suka dengan apa yang baru saja Umar perbuat.
“Mohon maaf Mas.” Ismail sendiri memberi kode pada Umar untuk segera meminta maaf. Umar sendiri tak mengerti kenapa dia harus meminta maaf. Apa salah dia? Kenapa dia harus minta maaf? Dia kan tidak berbuat apapun? Dia hanya diam. Apakah diamnya sebuah kesalahan?
“Umar, minta maaf sama Pakdhenya.” Ismail sendiri langsung bicara melihat Umar hanya diam.
“Maaf Pakdhe.”
“Lain kali jangan diulangi. Kalo ditanya jawab yang bener. Punya mulut masih bisa dipake. Dipake yang bener. Ibu kamu itu Kades. Jangan malu-maluin ibu kamu. Ngerti kan Le?” Lelaki itu langsung pergi. Ismail sendiri hanya bisa menggeleng dengan apa yang baru saja terjadi. Umar sendiri langsung saja diajak pulang. Selama perjalanan, Ismail tak henti-hentinya memberikan nasehat pada anak yang sedang ada di sampingnya.
“Kita ini hidup di desa. Hidup di kampung yang masih kental dengan budaya, termasuk tata krama. Lain kali kalo diajak bicara orang harus jawab. Gak elok Le kalo diajak bicara malah kamu diam aja.” Umar hanya diam dan terus mendengar ocehan itu.
“Lho, kok Umar baru pulang? Bukannya sekolah sudah pukang sejqak tadi?” Seorang wanita yang anaknya sekelas sama Umar tak sengaja bertemu di tengah perjalanan.
“Lho, pulang sejak tadi?”
“Lho, iya Mas. Katanya para guru ada acara di kecamatan. Gak tau sih ada acara apa. Tadi jam sepuluh anakku sudah pulang. Itu aja katanya baru dari rumah temennya.” Ismail sendir hanya menggeleng. Berarti Umar tadi lama sekali berada di tepi sungai.
“Baru dari sungai Bu.”