Naskah sang kuasa

Zainur Rifky
Chapter #16

dia bukan ibuku

Mas Pras dan teman-temannya. Mungkin mereka yang saat ini sangat menyayangiku. Saat ini, mereka yang paling bisa mengerti apa yang terjadi padaku. Kalian tau kenapa? Karena mereka selalu ada saat aku sedangberada di titik paling rendah, bahkan di titik di dasar sekalipun.

Sejak aku bertemu, dia yang selalu menunjukan perhatiannya. Termasuk mendengar semua cerita yang keluar dariku, tanpa adanya penghakiman. Tak ada penghakiman dari mereka sama sekali. Justru, mereka memberikan dukungan yang luar biasa bagiku untuk bisa terus hidup. Tak seperti yang lain yang bisanya hanya menghakimi dan mengeluarkan kalimat yang sama sekali tak pantas. Apakah cara mereka menghadapi orang bermasalah dengan seperti itu? Apakah orang itu tak pernah berpikir jika orang terdekatnya mengalami hal demikian?

Semua sama saja. Tak ada yang perhatian padaku dengan begitu baik. Entah kenapa, Mas Pras yang menunjukkan perhatiannya melebihi ibu kandungku sendiri. Bahkan, orang tua yang sangat aku harapkan ada di tempat ini tak lagi mau menemuiku.

***

Ratri hanya terdiam beberapa saat mendengar hal itu. Umar hanya membela diri. Hanya saja, caranya membela diri sejak awal masuk sekolah sudah seperti itu. Apa yang terjadi di masa lalu membuat Ratri sadar jika memang ada sesuatu yang membuat Umar harus melakukan seperti itu.

Itu karena Umar tak lagi mendapat haknya sebagai anak-anak dengan utuh. Dia sebenarnya khawatir dengan kondisi Umar yang semakin hari semakin berani. Dia beberapa kali mendengar jilka dalam teman sepermainan, seringkali Umar yang paling keras dan paling sering berani di antara teman sepermainannya.

“Bu, Saya mau tanya, di lingkungan dia seperti ini?” Ismawati terdiam dan tak bisa menjawab. Entah kenapa, memang beberapa tahun belakangan dia tak menengok apa yang Umar lakukan ketika bersama teman sepermainannya.

Ismail sendiri langsung saja menjawab pertanyaan dari wanita itu. Dia sangat tau apa yang terjadi. Para warga seringkali mengeluhkan apa yang Umar lakukan saat bersama teman-temannya.

“Maaf, saya wakili istri saya menjawab pertanyaan itu. Warga memang seringkali datang dengan masalah yang mungkin hampir mirip. Umar cenderung menyelesaikan masalah dengan cara fisik. Hampir tiap ada masalah, Umar selalu main fisik. Itu yang dikeluhkan para warga. Terkadang Umar juga seringkali dianggap gak sopan. Saya gak tau, dia yang melakukan itu atau memang para warga yang salah paham dengan apa yang dia maksud. Karena, pemikiran Umar banyak yang berbeda dengan pemikiran para warga.”

“Tapi aku gak salah pakdhe. Apa aku salah saat membela diri. Teman-teman aku yang memulai. Teman-teman aku yang mengawali itu. Mereka yang ngajak ribut. Lalu, aku harus diam saja gitu? Pakdhe kan pernah bilang kalo aku harus bisa membela diri. Kalo aku harus berani berkelahi ketika gak salah?” Umar angkat suara.

“Kak Umar.” Melihat Umar yang marah sampai harus mengatakan hal itu sambil berdiri, Imran tak bisa tinggal diam begitu saja. Marah itu sebelum terlanjur meledak dan menjadi hal yang tak diinginkan, Imran langsung memintanya duduk dan kembali seperti tadi.

“Kenapa Imran? Apa aku salah?”

“Kak, gak begitu juga caranya. Kita sedang berhadapan dengan orang yang lebih tua. Ada caranya saat bicara.”

“Kalo kita kau bilang harus ada caranya. Tapi kenapa mereka bisa seenaknya kalo bicara sama kita? Itu kan gak adil.” Ratri yang melihat Umar mulai emosi, tak bisa membiarkan hal itu terjadi. Jika hal itu dia biarkan, yang ada malah Umar bisa tak akur dengan saudaranya.

“Umar. Sini Nak! Jangan marah seperti itu.” Ratri sendiri langsung saja mendekap Umar yang kondisi emosinya sama sekali gak bisa dikatakan stabil. Dia bahkan pernah melihat sendiri, emosi Umar lebih dari yang dia lihat sekarang ini.

Lihat selengkapnya