Naskah sang kuasa

Zainur Rifky
Chapter #17

aku rindu Umar

Mas Pras, apa yang harus aku lakukan saat seperti ini? Kenapa hidupku menjadi serba salah? Apa yang jadi titik sehingga aku bisa dikatakan salah?

Kawan, apakah kalian ada yang bisa menjawab apa yang sedang aku tanyakan? Apakah kalian bisa memberikan jawaban yang sesuai dengan apa yang aku butuhkan? Jika kalian memang bisa menjawab, tolong jawab pertanyaan itu.  Seumur hidup, aku hanya ingin jawaban itu. Tak ada yang lain.

***

Warga yang menyaksikan kejadian itu tak bisa berbuat banyak. Mereka sangat tau Umar kecewa. Azura hanya bisa terdiam dan menangis. Sama sekali dia tak pernah menyangka jika mendapat penolakan dari anaknya sendiri.

Jika penolakan itu dari warga sekitar, dia bisa melawannya dengan percaya diri. Tapi, kali ini penolakan itu berasal dari anaknya sendiri.

Ismawati kali ini mendekat dan tak bisa bicara apapun. Melihat keponakannya sudah mengeluarkan amarah seperti demikian, berarti semua itu bukanlah hal yang biasa saja. Itu adalah hal yang sangat sulit. Kejadian yang sangat sulit untuk dimaafkan. Ismawati kali ini hanya bisa menangis. Ismawati tak bisa berbuat banyak atas apa yang terjadi pada keponakan yang sudah menjadi amanah dari orang tuanya.

“Mbak, izinkan aku bertemu anakku. Izinkan aku bertemu dengan Umar.”

“Kau sudah izin dengan suami kamu? Bukankah kamu sendiri yang menerima syarat dari suami kamu sebelum pernikahan ini terjadi?”

“Mbak, aku mohon beri aku kesempatan.”

“Azura, kenapa kau masih di sini? Bukankah kalian harusnya pergi ke tempat kau merantau dulu? Suamimu kan orang sana. Seharusnya, kau juga tinggal di sana. Tinggal bersama suami kamu.”

“Mbak, aku minta maaf untuk hal itu.”

“Azura, ini hidup kamu. Aku tak berhak ikut campur. Dari awal, aku sudah banyak mencecar kamu dengan pertanyaan yang seharusnya menjadi pertimbangan kamu sebelum melangkah. Kau punya anak. Kau punya buah hati yang sangat membutuhkan kasih sayang dari orang sekitar. Kalo kondisinya seperti ini, gak mudah untuk kembali seperti semula. Umar sudah berubah. Umar sudah tak lagi seperti saat kau berada bersamanya.”

“Mbak.”

“Maaf Azura. Aku minta maaf sudah menghalangimu. Sekarang, silahkan kau pergi bersama lelaki yang kali ini menjadi suamiu kamu.”

“Mbak Is. Tolong saja aku sebentar!”

“Aku tidak bisa berbuat apapun Azura. Ibu ada di sini. Ibu sempat bilang padamu jika kau tidak berhak untuk datang kepada seluruh iparmu. Aku tak bisa menentang apa yang menjadi perintah ibuku.” Ismawagti langsung pergi. Dia langsung menuju rumah yang kali ini dia tempati.

Umar. Yang menjadi pikirannya adalah Umar. Melihat Umar dan apa yang baru saja terjadi, entah kenapa ada sesuatu yang muncul dalam hati seorang Ismawati. Rasa yang sebenarnya sangat lumrah dirasakan oleh seorang wanita. Rasa yang seharusnya ada saat seorang wanita telah menyandang status sebagai seorang ibu.

Lihat selengkapnya