Kalau kejadiannnya sudah begini, siapa yang akan disalahkan? Apaka mereka tetap akan menyalahkanku? Apakah mereka akan mengataiku yang tidak-tidak? Jujur, aku sudah capek. Aku hanyab ingin hiuduo tanpa penghakima dari limnbgkungan sekitar. Kenapa banyak orang yang hanya bisa menghakimi?
***
Ismawati terdiam melihat keperrgian Azura dari tempatnya berada. Dalam hati, ingin rasanya dia meminta pertanggung jawaban sebagai seorang ibu. Tapi, melihat apa yang terjadi, sepertinya memang lebih baik Umar dijauhkan dari sang ibu dan suami barunya.
“Mbak Is, kau tak apa?”
“Gak ada apa-apa. Gak perlu kalian khawatirkan apa yang terjadi. Siahkan lanjutkan pekerjaan kalian.” Ismawati tersenyum dan pulang. Walaupun dia sekarang sudah menjadi seorang kepala desa, dia tak lantas menjadi seorang yang menjaga jarak dari warga. Dia bahkan seringkali berbelanja bersama dengan para warga desa.
Ismawati sendiri berjalan dan banyak sekali pikiran yang menghantuinya. Pikiran itu terus menghantui dirinya, termasuk soal apa yang baru saja terjadi. Kenapa ada orang yang begitu tega memisahkan orang tua dan anaknya? Kenapa ada orang yang begitu tega menghalangi hak orang tua untuk menyampaikan segala cinta dan kasih sayangnya pada buah hatinya?
“Bu Kades, malah melamun. Hati-hati kesandung lho Bu.” Salah seorang lelaki mengingatkan Ismawati. Wanita itu tersadar dan hanya tersenyum pada lelaki yang menyapa. Tapi, tunggu dulu. Perempuan yang berada di samping lelaki nitu, bukankah dia adalah anak dari wanita yang membuat sang adik gelap mata? Kenapa dia bisa berada di sini?
Tapi, Ismawati tak menghiraukannya. Dia memilih pulang dan ingin memasak. Dia tetap harus masak dengan tangannya sendiri. Keluarga yang dia sayangi harus memakan makanan yang dimasak dari tangannya sendiri. Semua itu tak lebih adalah untuk bisa menjaga kedekatan. Ismawati langsung saja memanggil ketiga anak yang ada di rumahnya. Tapi, ternyata Umar sudah berada bersama kakeknya.
“Lho, Bapak? Bapak kenapa berada di sini? Ada apa ini?” Ismawati sangat kaget dengan keberadaan Wijaya. Dia sangat dingin sikapnya kali ini. Tampak Umar yang sudah berkemas dan siap untuk pergi. Ismawati juga menanyakan kemana Umar akan pergi.
“Diajak kakek Budhe. Mau tinggal di rumah kakek.”
“Lho, kenapa Le? Kamu gak nyaman tinggal sama Budhe?” Pertanyaan itu membuat Umar hanya terdiam. Pertanyaan itu hanya bisa membuat Umar meneteskan air mata. Banyak hal yang harus menjadi pertimbangan saat ini. Mengingat dirinya hanya menumpang di rumah orang lain, bukan bersama orang tuanya sendiri.
Tetesan air mata dari Umar membuat Ismnawati langsung saja memeluk bocah itu. Entah kenapa, hatinya begitu berat unguk melepas Umar yang sejak kecil berada dalam pengawasan dan asuhannya. Tubuh anak lelaki itu masih saja kecil. Tubuh anak lelaki itu, jika dibandingkan dengan teman sebayanya, masih saja tergolong kecil. Tapi, tak ada yang bisa meremehkan Umar. Tak ada yang bisa bilang jika Umar tak bisa berkelahi. Seringkali dia yang justru membuat banyak orang kewalahan.
“Le, kamu kenapa Le? Kenapa kamu memangis Le? Ngomong sama budhe, siapa yang membuat kamu bersedih?” Umar hanya bisa menggeleng. Umar hanya terus menggeleng dengan pertanyaan Ismawati.
“Nduk, Umar akan tinggal bersamaku. Dia akan tinggal di rumahku. Sepertinya kamu gak mampu menghadapinya. Biar aku yang akan merawat anak ini.”
“Pak, Bapak yakin akan menghadapi anak ini? Dia ini anak bandel. Gak bisa dihadapi dengan cara yang biasanya kau terapkan.”