Naskah sang kuasa

Zainur Rifky
Chapter #19

maafkan budhe ya Le

Air mata ini sudah berapa banyak yang keluar? Air mata ini, sudah banyak yang menetes? Air mata sedih, air mata kecewa, atau air mata amarah yang paling banyak keluar dalam hidup?

Entah air mata apa itu yang keluar. Yang pasti, aku tidak pernah ada yang namanya air mata bahagia. Tak ada dalam kamus hidupku yang namanya air mata bahagia.

Melihat orang tuaku yang berada di sekitar desa ini saja, ingin rasanya aku bisa menemuinya dan mengungkapkan segala bentuk amarah. Tak pernah aku merasakan semua yang seharusnya menjadi hal bagiku. Mereka tak pernah menyayangiku.

***

Seorang lelaki yang sangat dia ingat. Dia tak lain adalah teman masa kecilnya. Dia hanya ingat jika baru-baru ini dia mendapat tugas kerja yang tak jauh dari desa Wanarandu.

“Kau, kau di sini?”

“Iya Ismail. Aku kebetulan ditugaskan di kantor kecamatan. Rumah kamu ada di mana?”

“Kalo di desa ini bukan rumah sendiri. Yang sekarang ditempati itu rumah dinas. Istri sekarang jadi kepala desa. Ada lagi, itu sebenarnya rumah kakak. Hak keponakanku. Jadinya cuma numpang.”

“Kau sendiri? Ada rumah?”

“Ada. Sebenarnya gak jauh dari kantor kecamatan. Rumah yang disewakan. Sekarang penghuninya buka toko di depan rumah itu. Karyawan di kecamatan pasti tau rumah itu. Toko makanan ringan satu-satunya.” Lelaki itu tersenyum dan mengiyakan. Dia tau rumah itu.

“Oalah. Anak aku sering kesana. Katanya makanan di sana enak. Lalu, rumah ini?”

“Ini rumah mertua. Kebetulan keponakan sedang tinggal di sini. Kasihan Mas, orang tuanya gak tanggung jawab. Mereka pisah dan dia gak pernah ditengok sekalipun.” Ismail sedikit menurunkan suaranya. Dia tak mau jika sampai Umar mendengar apa yang baru saja dia katakan. Masalah orang tuanya adalah masalah yang sangat sensititf bagi seorang Umar.

“Ismail, sepertinya kau takut? Takut masalah apa?”

“Masalah keponakan aku yang satu ini. Dia sering banget marah. Tadi aja dia gak mau cerita sama aku terkait apa yang dia alami. Biasanya dia terbuka.” Lelaki itu hanya terdiam. Dia sangat mengerti dengan apa yang sedang dihadapi oleh teman lamanya yang satu ini.

“Ismail, kau sudah bawa dia ke konselor begitu? Atau paling tidak ke orang yang mengerti masalah mental?”

“Pernah sih, tapi kayaknya entah kenapa sudah tenang, ternyata balik lagi karena ada kejadian pemicunya.”

“Ismail, tidak bisa sekali atau dua kali. Itu harus kau lakukan berkali-kali sampai dipastikan dia bisa selesai. Kalo hanya sekali, ya mungkin gak ada efeknya.” Ismail terdiam dengan apa yang baru saja dikatakan kawannya.

“Terima kasih Mas. Insya Allah aku akan membawa dia kesana lagi.” Mereka akhirnya berpisah. Teman dari Ismail hari ini harus segera kembali ke kantornya. Jam istirahat hampir selesai. Sedangkan Ismail sendiri pulang dan bertemu dengan kedua anaknya yang kali ini kebetulan libur dan sepertinya sedang belajar.

“Ayah, Kak Umar kemana? Kak Umar udah pindah ke rumah Eyang ya?”

Lihat selengkapnya