Ketika penghakiman itu mulai muncul, apa yang harus aku lakukan? Ketika semua orang mulai mengatakan hak yang sangat menyakitkan, apa yang harus aku lakukan? Ingin rasanya aku menghajar mereka. Ingin rasanya aku membuat mereka tak berdaya.
Kenapa dengan begitu mudahnya mereka mengatakan hal itu? Mereka tak pernah berpikir jika merka mendapat perlakuan yang sama dengan yang aku alami? Apakah mereka tak pernah seperti aku di masa depan nanti?
***
Umar terdiam saat mendengar itu semua. Dia tak banyak berkomentar terkait apa yang baru saja dibicarakan oleh sang nenek dan dua orang yang selama ini merawatnya. Yuni kali ini tak main-main. Dia meman serius ingin mengasuh Umar. Dia sudah tak bisa melihat jika Ismawati terus seperti ini.
“Aku minta maaf jika menyinggung kalian. Tapi aku sebenarnya sudah lama menyimpan semua ini. Aku sebenarnya sudah lama ingin mengambil alih Umar dari tangan kalian. Sebenarnya kalian gak sanggup. Tak pernah ada keadilan bagi Umar. Setiap hari dia salah dan salah di mata kalian. Gak pernah kah dia benar sekali saja?”
“Bu, tidak seperti itu.”
“Is, kalau dia memang kau anggap sebagai anak kamu sendiri, kau harusnya mencari tau dulu terkait apa yang terjadi. Kalau kau bisa mencari tau apa yang Fadhil dan Imran alami, kenapa kau gak bisa melakukan hal yan sama ketika Umar menghadapi hal yang sama?” Ismawati hanya bisa menangis. Dia tak tau harus berbuat apa. Dia sangat tak bisa berbuat apapun hari ini. Yuni sudah bulat terkait keputusannya.
“Is, sudahlah. Jangan seperti ini. Apa yang dikatakan Ibu ada benarnya juga kan? Umar kita biarkan tetap berada di sini. Entah sampai kapan. Coba kau lihat kondisinya. Kau lihat Umar. Dia tak lagi seperti ssat Azura masih ada di sini.” Ismawati terdiam dan menatap Umar yang hanya melamun. Wanita itu mendekat dan langsung saja memeluk anak kecil yang tampak meneteskan air mata.
“Le, kamu yang baik ya di sini.” Tak ada respon apapun dari Umar. Umar hanya terdiam dan menatap sang nenek. Mulai hari ini, rumah ini adalah rumah tempat tinggalnya.
***
Hari terus berjalan. Banyak hal yang harus terjadi. Sejak Umar berada di rumah sang ibu, Ismawati merasa ada yang kurang. Dia tak lagi marah seperti saat Umar masih ada di rumah itu.
Dalam hatinya mulai terbersit pikiran, apakah Umar hanya menjadi pelampiasannya? Dia seringkali datang ke tempat Umar hanya sekedar melihat kondisi keponakan yang selama ini dia rawat. Dia tak bisa mnembiarkan Yuni merawat Umar hanya bersama ayah mereka. Usia mereka sudah sangat lanjut dan waktunya mereka beristirahat. Tapi, kehadiran Umar di tengah mereka membuat semua tak berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Hari ini, terlihat Umar begit senang. Terlihat dia menerima buku paket dan LKS yang sudah sekian hari dia inginkan. Entah kenapa, sejak berkumpul dengan Yuni, uang saku dan kebutuhannya selalu ada saat dia sedang membutuhkan.
“Le, ada apa? Kok sekarang tampak senang banget.”
“Aku bisa beli LKS Eyang. Baru sekarang ini bisa beli LKS bareng dengan yang lain.” Yuni terdiam mendengar apa yang bariu saja Umar katakan. Baru kali ini Umar bisa beli LKS bareng dengan temannya? Berarti, selama ini dia selalu bisa membelinya belakangan?
“Lho, memang biasanya gak bisa beli barengan? Kenapa?”
“Biasanya Kak Fadhil sama Kak Imran yang didahulukan. Aku belakangan.” Yuni hanya terdiam mendengar jawaban itu. Ingin rasanya marah dan kecewa pada sang anak. Tapi, kali ini dia sangat yakin jika Ismail memberikan uang itu tepat waktunya.
“Tadi Pakdhe datang ke sekolah. Katanya mau bayar uang sekolah dan beli LKS.” Yuni yang mendengar itu langsung saja menangis. Ismail sangat menyayangi Umar. Ismail sangat siap menerima anak lain yang sudah jelas bukan anaknya.