Banyak yang terjadi antara aku, Mas Pras dan teman-temannya. Aku tak menyangka jika geng motor seperti mereka tak seperti yang aku bayangkan. Mereka sangat baik dan bisa merangkul anak-anak sepertiku. Tak jarang, aku dibelikan makanan oleh mereka. Sangat jauh dari apa yang aku bayangkan.
Mereka selalu bilang kalau mereka harus bisa menjadi teman untuk kaum lemah, seperti diriku. Di saat tak ada yang mau mendengar keluhan dan segala cerita yang ingin aku sampaikan, mereka hadir dan membuka telinga mereka untuk semua itu.
Haruskah aku berpikir terkait hal yang tidak-tidak pada mereka? Haruskah aku membalas apa yang mereka lakukan padaku dengan hal yang sama sekali tak pantas? Aku rasa tidak begitu. Merekqa memang geng motor dan suka balapan di jalanan. Tapi, mereka tak seperti orang pada umumnya. Mereka yang dipandang sebelah mata oleh para warga, justru bisa menjadi teman yang baik dan pendengar dari setiap keluh dan kesahku.
***
Umar pagi ini berangkat seperti biasanya. Tak ada teman yang bisa dia ajak untuk berangkat bersama. Biasanya, Wijaya yang mengantar Umar sampai depan gerbang. Tetapi kali ini tidak begitu. Wijaya sepertinya sedang sakit. Umar hanya bisa jalan kaki. Memang lebih jauh dari rumahnya yang dulu. Tapi dia sudah tak ambil pusing dengan jarak yang begitu jauh.
“Umar, mau sekolah Dek?”
“Iya Mas Pras.”
“Mau bareng? Aku kebetulkan mau ke Wanarandu, lewat depan sekolah kamu. Mungkin saja bisa mempercerpat perjalanan kamu. Biar gak capek.” Umar hanya mengiyakan.
Pras membonceng Umar sampai di depan sekolahnya. Walaupun baru beberapa kali bertemu, terlihat mereka sangat akrab dan begitu dekat. Pras sendiri juga banyak berpesan jika Umar harus sekolah dengan benar.
“Sekolah yang bener. Jangan seperti aku yang tak tamat sekolah. Kalo ada masalah sama temen kamu misalnya seperti kemarin, bilang saja ke aku. Aku pastikan mereka tak berkutik.” Pras memberikan kode tangan di lehernya. Umar hanya tersenyum dan mengiyakan. Dia langsung masuk dan terlihat begitu senang.
Imran yang sekarang satu sekolah dengan Umar hanya bisa senang saat melihat saudaranya hari ini bisa begitu senang. Terlihat juga beberapa orang temannya tak berani mengganggu Umar. Saat mereka harus disikat oleh beberapa orang anggota geng motor dan harus berurusan dengan pihak sekolah atas laporan dari Umar sendiri. Umar tak membiarkan mereka bisa tenang saat telah melakukan apa yang membuat Umar rugi.
“Kak Umar, aku lihat kau sama Mas Pras akrab? Kalian berteman?” Imran langsung sajua bertanya dan ingin rasa penasarannya terjawab sudah.
“Memang ada yang salah? Gak ada kan?”
“Ayah kemarin sempa marah kalau Kak Umar dekat sama mereka.”
“Memamg kenapa? Mereka orang baik. Mereka gak seperti yang kita duga selama ini. Aku tau semua. Aku tau terkait mereka semua.” Umar sampai berdiri ketika mengatakan hal itu. Imran langsung saja meminta maaf atas apa yang baru saja dia katakan. Sepertinya Umar tak suka saat dirinya bilang seperti itu.
“Umar, kau kok marah sih? Pakdhe kamu gak suka kalo kamu dekat sama anak geng motor. Kenapa kau marah?”
“Memang masalahnya dimana? Aku tanya salahnya dimana? Dia gak berbuat macam-macam kok sama aku.” Mereka terdiam dan memilih tak menjawab. Bukan saat yang tepat menjawab saat Umar sedang seperti ini.
Ratri sendiri mendengar hal tersebut langsung saja mendekat. Dia yang mendengar Umar sedang emosi ingin tau apa yang sebenarnya terjadi.
“Kenapa ini? Kenapa Umar sampai marah?” Mereka hanya diam dan tak ada yang menjawab. Mereka tak ingin jika masalah ini bisa sampai berbuntut panjang.
“Lho, ditanya kok diam semua? Umar, boleh ikut ibu sebentar Le? Sebentar saja. Ada hal yang mau ibu bicarakan.” Umar langsung mengikuti langkah Ratri yang menuju sebuah ruangan yang sebenarnya tak begitu luas.
“Ada apa Bu?”
“Umar, kau marah tadi sama teman-teman kamu? Boleh ibu tau kenapa kau marah sampai seperti itu?”
“Gak ada apa-apa. Masalah biasa.”
“Gak ada apa-apa? Beneran gak ada apa-apa?”