Naskah sang kuasa

Zainur Rifky
Chapter #23

siapa sebenarnya Pras?

Tuhan, bisakah aku pergi saja dari dunia ini? Bisakah aku tak terlahir dari dunia ini? Kumohon tuhan, aku mohon. Aku tak bisa berbuat apapun atas apa yang selama ini menimpaku. Aku tak pernah meminta apapun. Aku hanya ingin mendapatkan kasih sayang dari keluargaku. Aku hanya ingin mendapatkan perhatian dari orang sekitarku. Aku hanya butuh itu tuhan. Aku tak meminta lebih dari itu.

Aku mohon, berikan aku kekuatan dan kelapangan hati. berikan aku kesabaran seluas-luasnya agar aku bisa ikhlas dengan apa yang terjadi pada semua ini.

Tuhan, aku hanya ingin dimengerti.

***

Malam itu, semua warga desa hanya membicarakan terkait kelakuan Umar tadi siang. Banyak yang sama sekali tak menyangka jika Umar yang terlihat sangat mungil dari anak seusianya bisa dengan berani melawan dan membuat seorang anak lelaki dari keluarga kaya tak berkutik. Mereka sangat tak bisa percaya jika hal itu telah mereka lihat. Kejadian itu sangat nyata.

“Iya Bu. Tadi Bu Kades saja sampai kewalahan. Yang biasanya sama dia saja sampai tak bisa menghadapinya.”

“Waduh Bu, gimana nih? Kalo dibiarkan, bisa gawat lho Bu. Aku tau, dia hanya membela diri, tapi kalo dengar apa yang dikatakan Umar itu lho. Kok aku jadi takut kalo dia kenapa-napa suatu saat nanti.”

Bisik-bisik itu terhenti saat Ismail melewati tempat itu. Dia yang kebetulan bersama sang bungsu langsung saja menyapa dan mendekat ada segerombolan warga yang sedang asik bercerita sejak tadi.

“Mohon maaf Bapak dan Ibu. Ini ada apa ya? Kok sepertinya ada sesuatu yang penting?”

“Eh, sebenarnya gak ada.”

“Ehm, gak ada gimana? Mumpung ada pak Ismail di sini. Aku rasa pak Ismail ini berhak tau apa yang baru kita bicarakan.” Salah seorang lelaki langsung menyenggol sang istri yang tampak gugup. Ismail sendiri hanya tersenyum dan menunggu jawaban dari para warga.

“Eh, anu Pak. Ini sebenarnya masalah keponakan Bapak. Istri saya takut Sampeyan ini tersinggung.” Lelaki yang tadi langsung saja menjawab setelah melihat sang istri berkeringat dingin.

“Oh, masalah Umar. Ada apa ya? Silahkan cerita. Gak perlu sungkan seperti ini. Insya Allah aman.”

“Eh, sudah tau masalah tadi siang kan Pak?” Ismail sendiri tersenyum dan mengiyakan. Dia memang sudah mendengar masalah itu.

“Mohon maaf. Tapi kami kok jadi khawatir sama Umar Pak. Umar itu temannya anakku. Jadi aku juga ikut khawatir. Apalagi, mohon maaf, dia tadi dekat sama lelaki yang jadi anggota geng motor. Geng motor itu Kumpulan para preman. Itu rahasia umum Pak.”

“Anggota geng motor? Preman?”

“Iya Pak. Geng itu biasanya suka balapan di malam hari seperti serkarang ini. Takutnya dia kena pengaruh yang negatif dari mereka.” Ismail tyerdiam dan mendengar hal itu, dia langsung saja memandangi Imran. Imran tak bisa berkata apapun. Dia tadi sudah banyak cerita terkait segala yang diketahuinya.

“Le, jadi ceritamu tadi?”

“Iya Ayah. Aku gak bohong. Apa Ayah masih gak percaya kalo Kak Umar dekat dengan mereka? Aku lihat sendiri Yah. Kak Umar pernah ikut mereka nonton balapan. Memang gak sampai malam. Tapi, kak Umar senang melihat aksi balapan liar itu.”

“Pak Ismail, apalagi Imran sudah tau lebih banyak soal Umar. Ini bukan hal yang bisa diajak main-main. Apa yang dikatakan anakmu itun harus diseriusi.” Ismail sendiri terdiam dan mengucapkan terima kasih atas segala informasi yang dia dapatkan.

Lihat selengkapnya