Naskah sang kuasa

Zainur Rifky
Chapter #24

budhe, dia orang baik.

Tuhan, kenapa hidup ini terasa sangat pedih? Kenapa hidup ini terasa begitu sakit? Sakit sekali. Mas Pras, kemana kau? Aku masih memegang janjimu. Aku masih setia menunggu dirimu untuk menepati segala janji yang pernah kau katakan.

***

“Umar, kau yakin sudah bisa kembali sekolah? Kondisi badanmu masih belum sepenuhnya baik.” Yuni yang melihat pagi ini Umar mengenakan seragam langsung saja mendekat.

“Gak apa-apa Eyang. Aku sehat kok. Masih fit.”

“Baru semalam lho kamu ini demam.”

“Gak apa-apa Eyang. Obat semalam yang diberikan kakek manjur. Aku sekarang gak apa-apa.” Umar langsung saja pamit dan menuju sekolahnya. Yuni sebenarnya khawatir dengan apa yang sebenarnya akan terjadi. Apa Umar memang kondisinya akan baik-baik saja?

Di perjalanan, Umar sendiri kembali bertemu Pras. Tapi, kali ini Pras bersama teman-temannya. Penampilan mereka memang sangar. Tapi, mereka sangat ramah. Mereka sendiri menyalami Umar dan banyak berbincang.

Memang, hari ini mereka tak bawa motor, tapi mereka mau menemani Umar berjalan hingga tak terasa sampai di depan sekolah Umar.

“Terima kasih.”

“Umar, gak apa-apa. Ini anggap aja salam pertemanan.” Umar hanya tersenyum dan langsung masuk ke area sekolah. Dia sendiri kali ini tak ada rasa takut. Anak yang kemarin sudah berhasil dia buat babak belur. Dia sangat yakin jika tak ada lagi orang yang ingin mengganggunya.

“Umar, bisa ikut saya sebentar?” Kehadiran Ratri membuat Umar sangat terkejut.

“Bu Ratri?”

“Iya Umar, ayo ikut sama ibu.” Umar tak ada pilihan lain selain mengikuti langkah dari wanita itu. Umar hanya bertanya-tanya, ada apa ini? Kenapa dia dipanggil pagi ini ke ruang guru? Apakah karena masalah kemarin?

“Lho, Umar. Umar kenapa Bu Ratri?”

“Ada perlu sebentar.” Umar sendiri diminta duduk dan Ratri ingin tau apa yang terjadi terkait kejadian kemarin. Umar yang mendengar pertanyaan itu langsung saja menjawabnya dengan baik. Tak ada hal yang disembunyikan Tanpa keraguan, dia menceritakan apa yang terjadi kemarin siang. Dia hanya ingin melampiaskan kekesalan karena kesombongan anak itu.

“Bu, apa saya salah ketika membela diri? Kenapa saya gak boleh membela diri? Mereka menganggap orang di desa ini orang miskin. Orang yang sama sekali gak punya hak untuk membela dirinya.”

“Ibu tau Umar. Tapi, kenapa sampai harus pakai senjata tajam?”

“Bu, dia juga sering pakai alat untuk melukai orang lain, termasuk aku. Terus aku gak boleh melawan begitu? Gak adil itu namanya.” Ratri sendiri terdiam. Tak lama, seorang lelaki yang menjadi kepala sekolah di tempat itu keluar dan tersenyum.

Lihat selengkapnya