Tak ada hal yang bisa aku maafkan ketika ada seseorang yang membuat aku jauh dari orang yang penting dalam hidupku. Tak bisa aku maafkan dan tak bisa aku beri ruang untuk mereka diam saja. Aku akan pasti akan terus meminta untuk bisa bertemu dengan mereka. Tak peduli resikonya apa.
***
“Umar, tapi dia kan…”
“Kenapa? Dia yang perhatian sama aku. Dia yang lebih perhatian sama aku daripada yang lain. Lalu Budhe mau bilang dia bukan orang baik? Maaf Budhe, justru menurutku dia adalah oranhg baik. Justru kalian semua yang bukan orang baik. Aku selalu salah. Aku gak pernah benar di hadapan kalian.” Marah itu spontan saja keluar dari anak yang tubuhnya hanya bisa terdiam di ranjang perawatan. Tetes demi tetes air mata tampak keluar dan membasahi wajah itu.
“Dek Umar. Jangan menangis. Gak apa-apa kalo kita gak bisa dekat.”
“Mas Pras, aku yang kenapa-napa. Kalo gak ada Mas Pras dan yang lain, siapa yang mau mendengar ceritaku? Siapa yang ingin mendengar apa yang selalu aku ingin ceritakan? Mas dan teman-temannnya mau mendengar dan tak pernah menyalahkanku. Gak seperti yang lain. Yang lain cuma bisa bilang aku salah. Padahal aku gak tau letak salahnya ada di mana. Tapi, selama ini Mas Pras gak pernah sekalipun seperti itu. Teman-teman Mas Pras gak pernah seperti itu juga.”
“Umar, semua orang masih menyayangi kamu.”
“Semua itu hanya omongan saja Mas. Gak pernah ada yang menganggap aku ada. Bahkan orang tuaku saja gak peduli sama aku.” Umar sendiri masih saja bersikeras dengan pendapatnya. Hari ini dia memang semakin berani. Hari ini dia memang semakin terang-terangan melawan apa yang ingin Ismawati minta. Menurutnya, semua ini tak adil. Semua ini menurutnya bukanlah sesuatu yang harus dilakukan.
“Umar. Aku permisi dulu. Nanti aku akan menjengukmu kembali.”
“Mas, aku ingin pulang. Antarkan aku pulang.”
“Umar, ini bukan saatnya kamu untuk pulang. Kamu belum bisa pulang.”
“Aku gak mau tau, aku minta pulang sekarang.” Umar terus memohon. Pras sendiri tersenyum dan menggeleng. Umar terus memegangi tangan itu dan membuat Pras tak bisa pergi kemanapun. Pras sendiri mengalah. Umar terdiam dan tak ingin bicara.
Tak lama, seorang dokter datan dan memeriksa Umar. Tampak dokter itu hanya mengangguk dengan kondisi Umar.
“Ini sebenarnya bisa pulang. Ini luka biasa dan sebenarnya gak begitu serius. Memang beberapa hari ke depan aktivitasnya belum begitu normal. Kakinya masih membutuhkan proses penyembuhan. Tapi, saya yakin jika ini gak bakalan lama.”
“Terima kasih Dokter.” Pras dan Ismawati tersenyum dengan kondisi Umar. Sebuah kursi roda kali ini akan mengantar Umar untuk keluar. Pras sendiri hanya tersenyum dan langsung saja berpamitan. Tapi, lagi-lagi Umar tetap memintanya untuk mengantar pulang.
“Mas, antar aku pulang. Antarkan aku pulang. Setelah itu kau pergi kemanapun aku gak melarang.” Pras tak bisa menolak. Dia menemani Umar selama perjalanan pulang. Dia banyak bicara dengan Umar sepanjang jalan. Terlihat jelas jika Umar begitu senang bisa bicara dengan Pras. Terlihat Umar sangat senang bisa bertemu dengan orang yang sangat mengerti akan semua yang ada di hidupnya.