Naskah sang kuasa

Zainur Rifky
Chapter #26

menuju markas mas Pras

Anak nakal. Apa yang telah aku lakukan sampai banyak orang bilang aku ini anak nakal? Kenapa sebutan itu harus ada dan menyasar padaku? Aku salah apa? Kenapa hanya aku yang diberi julukan anak nakal?

***

Ismawati terdiam dengan apa yang baru saja diklatakan oleh sang suami. Dia sendiri tak bisa berbuat apapun dengan hal itu. Dia melihat sendiri, Umar sangat dengan lelaki yang bernama Pras. Pras, lelaki yang terkenal sebagai pentolan dari salah satu geng motor di kecamatan ini.

“Mas, kalo dia sampai akrab dan beneran bergabung, bagaimana kita Mas? Dia masih tanggung jawab kita.” Ismail sendiri tak habis pikir dengan apa yang terjadi. Kenapa dia tak percaya dengan omongan sang anak beberapa hari terakhir? Omongan itu kalo ini telah dia buktikan sendiri.

“Aku sama sekali gak menyangka kalo dia bisa dekat dengan mereka.” Mereka berdua akhirnya hanya bisa diam dan terus berdoa dan berusaha mencari jalan keluar.

Di tempat lain, Umar hanya terdiam dan terus tak ingin bicara. Wijaya kali ini memberikan pijatan pada kaki Umar. Tadi, seorang dokter sempat bicara jika Umar bisa diberi pijatan seperti yang dia lakukan saat ini.

“Le, sakit? Kenapa diam aja?”

Umar hanya menggeleng. Sakit yang ada pada kakinya kali ini tak seberapa jika dibandingkan dengan sakit yang ada di hatinya.

“Lho, kalo sakit bilang Le. Gak apa-apa. Kaki kamu ini memang masih sakit. Kelihatan banget kalo ini masih ada rasa sakitnya.” Umar masih saja diam. Wijaya sendiri entah bagaimana harus membuat Umar bicara.

“Le, kamu kenapa sih? Ditanya malah melamun?” Umar hanya terdiam dan menoleh. Tak terasa kika tetesan air mata itu keluar dan berhasil membasahi pipinya. Wijaya hanya bisa diam dan langsung semakin mendekat.

“Aku tadi dikeluarkan dari sekolah.”

“Enggak. Gak ada yang berani mengeluarkan kamu dari sekolah. Siapa yang bisa mengeluarkan anak pintar dari sekolah?” Seorang perempuan yang masih sangat muda meminta izin untuk masuk.

“Nak, kamu?”

“Maaf Pak Wijaya, boleh saya masuk?”

“Masuklah Nduk! Ayo, bantu aku nemani Umar.”

Wanita itu masuk dan langsung saja memandangi Umar yang tampak bersedih. Tak boleh Umar bersedih hari ini. Tak boleh dia menangis karena masalah tadi pagi. Kepala sekolah tak jadi menandatangani surat itu. Umar masih sah sebagai siswa di sekolah itu.

“Tadi Bu Ratri banyak bicara dengan kepala sekolah. Bahkan semua guru menyaksikan apa yang Bu Ratri dan kepala sekolah bicarakan Pak. Kepala sekolah tidak punya alasan yang kuat untuk mengeluarkan Umar. Dia masih layak untuk dipertahankan.” Wanita itu tersenyum dan meminta agar Umar bisa tenang.

Lihat selengkapnya