Umar sangat bersyukur dirinya tak mendengar lagi amarah dari sang bibi dan pertengkaran yang biasanya terjadi antara Ismail dan Ismawati. Memang, pertengkaran itu tak dilakukan di hadapan anak-anaknya dan termasuk pertengkaran yang sebenarnya wajar. Tapi, hal itu cukup membuat Umar merasa terganggu dan selalu mengingat apa yang pernah terjadi pada kedua orang tuanya.
Umar tampak jelas ada air mata yang membasahi wajah itu. Ada kesedihan yang terpancar dari wajahnya yang begitu manis.
“Kak Umar.” Suara itu. Suara yang sebenarnya tak asing baginya. Suara yang dia rindukan selama berada di rumah ini. Tak ada lagi suara dari kedua sepupunya yang biasanya selalu membelanya mati-matian. Tapi terkadang mereka juga menjengkelkan. Seringkali mereka tak sepaham dengan dirinya.
Umar sendiri hanya menoleh dan tak menyahut suara itu. Terlihat Imran sudah berada di pintu rumah. Lelaki yang memang seusia dengannnya langsung saja masuk dan menuju tempatnya berada.
“Kakinya Umar bengkak lagi. Padahal maghrib tadi sudah lumayan. Dia tadi pake jalan sudah lumayan enak. Tapi langsung saja dipake keliling dusun. Ya akhirnya seperti ini.” Ismail sendiri melihat kaki itu. Memang, kaki itu terlihat bengkak.
“Umar, dibuat lurus saja. Kalau seperti ini yang ada bengkaknya gak akan selesai. Kalau lurus, Kan darahya lancar. Akan mempercepat bengkak ini kembali seperti biasa.” Ismail langsung saja membantu Umar untuk meluruskan kakinya. Umar hanya bisa terdiam dan tak berkata satu katapun. Entah kenapa, dia merasa tak enak hati pda lelaki ini. Umar juga ingat bagaimana lelaki ini yang entah kenapa sudah tak lagi seperti dulu. Semuanya sudah berubah.
“Umar, kenapa Le? Kami mengganggu?”
“Umar, kau ini kenapa? Pakdhe kamu di sini buat menjenguk kamu. Kamu malah melamun. Jangan banyak melamun.” Umar sendiri entah harus menjawab apa. Dia sendiri tak mengerti dengan semua yang terjadi.
“Maaf.”
“Lho, kenapa kamu minta maaf? Gak ada yang salah Le. Sejak kamu di rumah Eyang, malah seringv banget diam. Kenapa? Mau cerita apa? Ada cerita apa yang mengganggu kamu?” Umar menggeleng. Umar sendiri tak banyak berkomentar terkait hal tersebut.
Ismail hanya terdiam dan menatap Imran. Ismail juga meminta agar Imran mendekat pada saudaranya. Umar hanya mencegah agar Imran tak lagi seperti yang dia lakukan kali ini. Dia sangat tak nyaman dengan apa yang Imran lakukan kali ini
“Gak perlu kayak gini. Aku gak suka.” Tangan itu membuat Imran tak bisa berbuat banyak. Tangan itu membuat Imran hanya bisa terdiam dan tak tau harus berbuat apa.
“Ya sudah, mungkin Umar sedang butuh waktu istirahat. Maaf ya Le sudah ganggu.” Mereka sendiri keluar dan membiarkan Umar sendirian di kamar yang sebesar ini. Umar hanya menangis dan tak terasa dirinya tertidur.
***
Di sekolah.
Umar hari ini tidak bisa masuk sekolah. Kakinya masih kesulitan jika harus dibuat berjalan dan suhu tubuhnya kembali naik sejak tengah malam tadi.
Banyak teman Umar yang merasa sepi ketika Umar gak masuk seperti hari ini. Memamg, Umar bukanlah anak yang cerewet. Umar memang termasuk anak yang pendiam. Tapi, kehadirannya membuat suasana kelas itu penuh warna. Keberanian Umar juga akhirnya membuat banyak temannya tak berani berbuat macam-macam pada anak yang satu ini.
“Bu, Umar gak masuk.”
“Iya. Dia sementara gak bisa sekolah dulu. Kondisinya sedang sakit. Kemarin baru saja kecelakaan. Tapi alhamdulillahnya gak bakal lama. Dia mungkin besok juga bisa kembali sekolah.” Mereka terdiam. Ingin sekali mereka menjenguk Umar sepulang sekolah. Sejak dia harus tinggal di rumah kakeknya, Umar jarang pernah bertemu dengan teman-temannya.