“Baik Pakdhe.” Umar akhirnya menjawab apa yang dikatakan Ismail. Tapi, terlihat wajahnya tak begitu mnyuakinya. Ismail kali ini malah merasa bersalah sudah memaksakan kehendak.
“Le, kok cemberut begitu sih?”
“Gak apa-apa Pakdhe.”
“Kamu gak suka ta pakdhe antar ke sekolah.”
“Gak begitu.”
“Ya sudah, pakdhe minta maaf.” Ismail sendiri merasa serba salah. Jika tak diantar, kaki Umar bisa kembali bengkak seperti semalam. Jika diantar, Umar malah cemberut seperti yang kali nini dia lihat.
Umar sendiri langsung saja diantar masuk dan ditemani istirahat. Inginnya, Ismail meminta agar dia bisa istirahat. Tapi, Umar sendiri menolak. Dia ingin sekali membuka buku pelajarannya. Mau tak mau, Ismail hanya menuruti keinginan Umar. Dia ingin agar Umar bisa nyaman berada di sampingnya.
“Kok tumben sih belajar jam segini?”
“Lho, biasanya aku belajar jam segini Pakdhe. Kalo malam malah gak enak. Banyak gangguan.” Ismail mengerti dengan maksud anak ini. Daerah ini jika malam akan sangat berisik dengan kegiatan warga di luar rumah. Pasti Umar tak bisa belajar dan konsentrasinya pasti turun.
“Le, tadi itu siapa sih Le?”
“Siapa? Orang yang mana?”
“Orang yang tadi ketemu sama kamu itu Lho. Kamu sepertinya akrab banget sama dia?”
“Lho, pakdhe gak tau?”
“Kalo tau pakdhe gak akan tanya sama kamu. Pakdhe tanya kan gara-gara pakdhe gak tau.” Umar hanya bisa terdiam mendengar pertanyaan dari Ismail. Haruskah dia mengatakan hal sejujurnya jkika dia tengah dekat dengan geng motor itu? Apakah dia salah jika dekat dengan mereka?
“Itu cuma teman.”
“Kok usianya lebihb tua dari kamu Le? Pakdhe rasa, dia sudah usia anak SMA. Kamu kan baru SD. SMP aja masih lumayan lama. Sekitar setahun lebih kan kau baru bisa masuk SMP?” Umar sendiri sebenarnya tak begitu menyukai pertanyaan itu. Kenapa sih teman aja sampai diungkit seperti itu. Padahal kan mereka yang paling mengerti terkait kondisi Umar sekarang ini. Kenapa itu semua harus dipermasalahkan?