Umar langsung pamit pulang. Kali ini dia memilih untuk njalan kaki seperti biasanya. Dia tak peduli dengan jauhnya jarak antara sekolah dengan rumah yang sekarang ini dia tempati. Ismawati tak tinggal diam. Dia tak mau jika Umar pulang sendirian dan di jalan, dia justru ada sesuatu yang membuat amarahnya memuncak.
“Umar, dari tadi ditungguin kok malah main nyelonong aja. Ayo, budhe antar kamu pulang.”
“Gak usah Budhe, aku bisa pulang sendirian.”
“Lho, kok malah gak mau sih? Ayo.” Umar sendiri mau tak mau langsung menaiki sepeda motor yang kali ini dinaiki oleh Ismawati. Sepanjang perjalanan, Umar tak bicara apapun. Kali ini, entah kenapa rasanya begitu bebas untuk sekolah. Tak ada lagi anak yang berani mengganggunya.
***
Malam itu. Warga kemnbali geger. Warga kembali heboh dengan aksi Umar yang entah apa yang sebenarnya terjadi. Umar sangat berani menghajar dua orang dewasa yang kali ini berusaha menculiknya. Salah seorang mereka juga terluka karena senjata tajam yang Umar gunakan. Lagi-lagi, senjata tajam itu dia rampas dari salah seorang warga.
“Bocah, berani kau?” Salah seorang dari mereka masih saja berusaha melumpuhkan Umar. Dia masih ingin membuat Umar tak berdaya, tapi semuanya tak bisa dia lakukan. Tangan Umar yang sudah digenggam oleh lelaki itu, ternyata harus terlepas karena kaki Umar yang terus saja beraksi.
Umar yang sudah terlanjur emosi langsung saja mencabut senjata tajam yang ada pada lelaki di sampingnya dan bersiap menghunuskan ke lelaki itu.
“Umar.” Tangan itu. Tangan yang begitu dia kenal. Tangan itu mencegah agar senjata tidak mengenai lelaki itu. Tangan itu tak ingin Umar melakukan kekerasan pada lelaki itu.
“Mas Pras?”
“Jangan Umar. Kau minta, jangan lakukan itu.”
“Dia mau mencelakaiku Mas. Dia mau menculikku.”
“Umar, turunkan senjatamu. Senjata itu bukan milikmu. Lagipula, tak baik kau menghadapi orang tanpa senjata.”
“Mas Pras, mereka memang gak pake senjata, tapi mereka masih mau membuat aku gak berdaya. Mereka berdua, padahal aku hanya seorang. Lalu, apa itu adil Mas? Dua lawan satu.”
“Umar, maafkan Mas kalo ini memang membuat kamu tersinggung. Tapi, kamu itu lebih kuat dari mereka. Kamu tadi dengan posisi tangan seperti itu saja sudah bisa untuk membuat satu diantara mereka tak berdaya. Kamu bisa. Kamu memang bisa untuk melakukan itu. Kamu yang lebih kuat dari mereka.” Umar sendiri terdiam dan hanya tertegun melihat lelaki yang baru saja berusaha akan menculiknya.
Salah seorang lelaki itu berusaha berdiri. Dia ingin sekali kabur. Tapi Umar langsung saja membuat lelaki itu kembali terjatuh. Tendangan Umar berhasil membuat lelaki itu tak bisa kemanapun. Luka itu sangat menyakitkan. Umar memegang salah satu kaki masing-masing. Dia terlihat begitu emosi dengan apa yang baru saja terjadi.
“Ampun. Maafkan kami. Maafkan kami Nak. Kami gak aka melakukan hal itu lagi.” Mereka terlihat sangat takut. Mereka sangat takut dengan siapa yang berada di samping Umar. Umar sendiri ternyata juga tak bisa diremehkan.
“Katakan, kenapa kalian mau menculik anak ini? Anak ini salah apa sama kalian?” Pras langsung saja bertanya. Mereka hanya menggeleng dan hanya ingin meminta tebusan.
“Maaf, kami hanya minta tebusan. Aku gak tau apapun masalah dia.”
“Minta tebusan? Kalian pikir anak ini nberasal dari keluarga berada? Dia hanya tinggal bersama kakek dan neneknya. Orang tuanya bahkan gak peduli dengan dia. Kalian mau minta tebusan berapa ke keluarga petani?”
“Maaf, izinkan kami pergi. Izinkan kami untuk pergi dari sini. Kami gak akan mengganggu adik kamu.”
“Kenapa? Karena kalian tau dia adilk aku? Karena kalian kali ini sudah tau dia adalah adikku? Kalau kalian gak tau, apa yang akan kalian lakukan padanya?”