“Le, maafkan Bapak.”
“Pak, sudahlah. Ayo pulang. Gak perlu bikin malu. Bapak sudah tua dan penyakitan, masih aja kelakuannya bejat. Bapak mau apa sih? Dapat apa Bapak dari perempuan itu? Gak dapat apa-apa kan? Ayo, pulang. Gak malu apa jadi omongan warga?”
“Le, bapak ingin minta maaf sama anak itu.”
“Kenapa Bapak mau minta maaf? Kenapa Bapak malah melakukan hal yang memalukan seperti semalam? Apa karena anak itu bisa membuat Bapak belur seperti ini? Jadi Bapak mau minta maaf? Kalo Bapak berhasil lalu mau apa? Bapak terima uang dan bersenang-senang dengan wanita yang gak jelas itu?”
“Le.”
“Sudah Pak. Ayo pulang.” Lelaki muda itu menuntun lelaki yang ada di sampingnya untuk masuk menuju mobil. Mobil yang sebenarnya tak begitu mewah. Lelaki itu ternyata tak ikut pulang. Dia malah kembali menemui warga dan menanyakan sesuatu
“Maaf Pak, boleh saya tau dimana rumah korban dari bapak saya?” Salah seorang warga langsung saja menunjukkan rumah yang begitu sederhana. Rumah sederhana yang selama ini ditempati oleh keluarga Wijaya.
“Sekarang ini mereka tinggal sama cucunya Mas. Setahun belakangan ini sih. Pak Wijaya yang membawa anak itu kesini. Gak tau kenapa sama budhenya.”
“Ya sudah Pak. Terima kasih.” Lelaki itu langsung saja menuju rumah yang terlihat, anak yang mungil. Terlihat dia masih duduk di bangku sekolah dasar. Umar yang melihat lelaki itu langsung saja berdiri dan menjaga jarak darinya. Suapa dia? Kenapa bisa datang ke rumah ini?
“Cari siapa?”
“Maaf, adek ini betul namanya Umar?”
“Kenapa Kak? Aku Umar? Ada perlu apa?” Lelaki itu meminta izin duduk. Umar sendiri menjaga jarak dan terus memasang wajah curiga pada lelaki yang ada di hadapannya.
“Tidak perlu takut Umar. Aku kesini hanya mau minta maaf. Aku mau minta maaf atas kejadian semalam.”
“Kakak ini siapa?”
“Aku Misbah. Aku di sini mewakili ayahku yang semalam mendapat luka tusukan darimu meminta maaf. Aku tau mereka salah dan gak seharusnya menjadi tawanan wanita yang gak jelas itu.” Umar hanya terdiam mendengar apa yang baru saja dikatakan lelaki yang ada di hadapannya. Umar tak bisa menjawab ataupun sekedar berkomentar terkait kejadian yang semalam menimpa dirinya.
“Kakak kenal dengan pelakor itu?”
“Pelakor? Siapa maksudmu yang kau sebut pelakor?’
“Kakak gak tau? Yang nyuruh bapak Kakak kan seorang pelakor.” Misbah sendiri terdiam dan dalam hati sebenarnya ada rasa amarah. Tapi, dia sendiri tak tunjukkan pada Umar.
“Aku malah baru tau dari kamu. Apa yang kau tau dari wanita itu?”
“Dia kan yang membuat ayah dan ibuku bercerai. Ayah gak pernah sekalipun nengok aku, ya gara-gara wanita itu. Wanita itu ingin menculikku semalam.” Misbah tak bisa berbuat apapun. Dia hanya bisa mengiyakan dan mengucapkan terima kasih. Apa yang baru saja dikatakan Umar adalah informasi yang sangat dia butuhkan untuk ke depannya.
“Ya sudah, terima kasih informasinya. Aku pamit dulu. Jaga diri baik-baik. Kalo bisa, belajar bela diri. Biar gak ada orang yang macam-macam sama kamu.” Lelaki yang bernama Misbah langsung saja pergi dan membuat Umar hanya bisa terdiam. Lelaki itu, sepertinya dia sangat mengenal lelaki itu. Entah dimana Umar pernah bertemu dengan lelaki itu. Apakah mereka pernah bertemu sebelumnya?