Umar sendiri terdiam dan sebenarnya sangat bersyukur ketika pakdhenya tak lagi percaya pada Imran. Bukannya dia ingin balas dendam atau bagaimana. Tapi, dia tak ingin sampai apa yang terjadi kemarin malam sampai membuat Ismail curiga.
Umar masih ingat betul jika kemarin dia membuat wanita itu tak berdaya dan merampas semua yang ada di dalam tas mewahnya. Dia hanya ingin membuktikan jika dirinya tak bisa dianggap remeh dan dipandang sebelah mata. Dia juga ingin membalaskan apa yang sudah dilakukan oleh wanita itu selama ini.
“Kak Umar?” Umar sendiri sangat terkejut dengan keberadaan Imran yang tiba-tiba kali ini ada di hadapannya.
“Imran, kenapa kau?”
“Kak Umar kok senyum sendiri? Ada apa? Ada yang Kak Umar sembunyikan?”
“Enggak. Emangnya kenapa?” Imran terdiam dan tak menjawab. Dia takut sampai Umar marah.
“Gak jadi Kak Umar. Aku minta maaf sudah berburuk sangka sama Kak Umar.” Imran sendiri pergi. Dia yang menatap raut wajah dari Umar yang sepertinya marah membuat dia tak bisa berbuat apapun selain meminta maaf.
Umar sendiri hanya bisa diam dan membiarkan Imran pergi. Sebenarnya dia tak ingin jika Imran pergi begitu saja. Selama beberapa tahun belakangan, Imran yang membela dirinya saat dia disalahkan atas apa yang terjadi.
“Imran.” Umar sendiri langsung saja memanggil sepupunya. Dia hanya ingin memeluk sepupunya yang memang sangat berjasa dalam banyak hal.
“Maafkan aku Kak Umar.”
“Kamu gak salah.” Imran sendiri hanya bisa tersenyum mendengar apa yang dikatakan Umar. Umar sendiri hanya meminta agar Imran mau tetap berada di tempat ini sampai sang ayah pulang. Dia ningijn Imran menemaninya seperti biasanya sampai saatnya nanti untuknya pulang.
***
“Bu Suci. Kondisi Anda sudah jauh lebih baik. Saya yakin jika dalam waktu beberapa hari ke depan anda bisa kembali beraktivitas seperti biasa. Tetap jaga diri Bu.” Salah satu dokter kepercayaan Suci yang baru saja memeriksanya hanya bisa tersenyum melihat apa yang menjadi perkembangan pada tubuh wanita ini. Wanita yang menjadi korban dari amarah Umar hanya bisa meringis merasakan sakit yang sudah lumayan membaik. Dia tak bisa membayangkan betapa sakitnya semalam saat Umar baru saja memberikan hadiah sebuah tusukan senjata tajam tepat di bagian perutnya.
Wanita itu tampak begitu tak percaya saat dia bisa mendapat amukan dari Umar. Dia hanya berpikir jika Umar tak bisa berbuat hal senekat itu. Tapi semua pemikiran itu ternyata salah. Umar berhasil membuat dia tak berdaya dan merampas segala yang ada di dalam tasnya. Bahkan, tas mahalnya juga tak tau kali ini berada dimana. Beberapa orang yang mencari tas itu tak menemukan sesuatu apapun.
“Dasar anak sialan. Berani banget dia membuat aku seperti ini. Aku akan membuat perhitungan padanya.”
“Sayang. Kau kenapa sih? Malam begini kok malah marah gak jelas.”
“Ini semua gara-gara anak kamu ityu Mas. Ini semua gara-gara anak kamu. Dia bisa-bisanya membuat aku jadi seperti ini.”
“Sudahlah Sayang. Kamu sampai kapan sih masih mau menyingkirkan dia? Memang kamu mau apa sampai harus menyingkirkan dia?”
“Mas, kau ini bagaimana sih? Rumah yang dia tempati sekarang ini kan hak kita.”
“Cukup. Kamu jangan permnah mimpi bisa dapat rumah itu. Ini perjanjian itu sudah lelas, rumah itu akan menjadi hak Umar.”