“Umar, kau sedang apa Le? Kenapa kau berjongkok seperti itu?”
“Eh, gak apa-apa Palkdhe.” Ismail terheran dengan kelakuan Umar kali ini. Dia sama sekali tak percaya jika Umar tidak membawa apapun yang mencurigakan. Ismail langsung saja mendekat dan menatap Umar dengan tatapan yang mencurigakan.
“Kau bawa apa Le?”
“Gak bawa apa-apa Pakdhe. Cuma bawa baju sama alat sekolah aja.” Ismail langsung saja menggeledah semua sudut ruagan itu. Umar hanya terdiam dan berharap pisau dari Pras tak sampai ketahuan oleh pakdhenya.
Setelah sekian lama, Ismail tak menemukan apapun di kamar ini. Walaupun dia sudah cek seluruh bagian, tetap saja tak ada benda mencurigakan yang berada di kamar ini. Dia hanya ingat jika tak boleh sampai ada senjata tajam di ruangan ini. Semuanya akan sangat berbahaya sampai Umar menyimpan barang itu.
“Beneran gak ada apa-apa? Kenapa tadi kamu berjongkok dan seperti menyembunyikan sesuatu?”
“Kenapa Pakdhe gak percaya sama aku?” Pertanyaan itu membuat Ismai terdiam dan tak bisa berkomentar. Entah kenapa, setiap kali Umar mengajukan pertanyaan itu, ada rasa bersalah pada keponakannya.
“Ya sudah. Pakdhe minta maaf.” Ismail sendiri langsung pergi dan tak lagi mau mencurigai Umar. Kali ini, Umar bisa bernafas lega. Pisau itu tak diketahui oleh pakdhenya. Dia akan selalu menyimpan pisau itu dan menggunakannya jika dia butuhkan. Pisau itu bukan sekedar janji Pras padanya, tapi menjadi alat agar Umar bisa membela diri dan membuat siapapun musuhnya menjadi tak berdaya.
Umar langsung saja merapikan lemarinya. Hampir saja tadi pisau itu ketahuan. Tapi, karena ganggang pisau yang sewarna dengan lemari, Ismail tak bisa melihatnya. Umar sendiri mengantisipasi agar ganggang pisau itu bisa dia temukan saat dia membutuhkannya.
“Maaf Pakdhe. Ini menjadi senjataku. Ini kenjadi alat perlindunganku. Pisau ini juga akan menjadi alat pembalasan pada orang yang sudah menyakitiku.” Tetes air mata keluar dan membasahi pipi Umar. Jika tak ada orang yang bisa melindunginya, maka alat dari Pras yang akan melindunginya. Dia tak takut dengan segala resiko yang terjadi ketika menggunakan pisau itu. Bukankah pisau itu juga dia buat untuk melumpuhkan ayahnya? Bukankah pisau itu berhasil juga dia gunakan untuk melumpuhkan orang yang berusaha menculiknya juga pelakor yang tak tau malu itu?
“Kak Umar. Makan siang. Makanannya sudah siap.” Imran sendiri langsung mengantarkan makanan itu menuju tempat Umar berada. Umar yang melihat saudaranya membawakan makanan untuknya langsung saja mengucapkan terima kasih. Entah kenapa, Imran selama ini begitu perhatian padanya.
“Terima kasih.” Umar sendiri langsun saja memakan makanan yang sudah ada dihadapannya. Imran sendiri kali ini meminta agar bisa makan dan menemani Umar. Dia sudah lama tak berbagi dengan saudaranya yang satu ini.
“Kau di sini?”
“Kenapa Kak Umar? Kak Umar keberatan?” Umar hanya menggeleng dan akhirnya membiarkan kedua saudaranya berada di kamar ini. Sudah lama dia punya kamar sendiri. Jadi, saat dia melihat ada orang yang akan memakai kamar ini bersamaan dengannya, dia agak grogi.
Tak lama, Ismawati sendiri pulang dan membawa sebuah kabar. Dia membawa kabar jika ayah Umar dan selingkuhannya kali ini sedang sakit. Ada orang yang menyerangnya secara brutal. Umar yang mendengar hal itu hanya bisa terdiam. Dia sama sekali tak peduli dengan kabar itu. Lagipula kenapa kedua orang itu masih saja mencari tau kabar terkait orang yang sudah menyakiti hatinya? Dia hanya terheran, katanya kecewa dengan perlakuan lelaki itu, tapi kenapa budhenya masih saja mencari tau kabar lelaki itu?
“Kamu itu, kenapa masih saja mencari kabar masalah Kusuma?”
“Mas, tapi dia kan tetap saudara kuta. Dia tetap adikku.”
“Lalu, kau gak mengingat bagaimana orang tuamu sangat kecewa dengan mereka?”