“Umar.” Umar buru-buru menyimpan benda itu. Umar sama sekali tak mau kalau pakdhe dan budhenya tau dia selama ini menyimpan benda tajam pemberian dari Pras. Dia hanya ingin jika Pras walau kali ini tak bersamanya, tapi bisa melindunginya lewat benda yang dia berikan.
“Umar, lagi nyimpan apa?”
“Gak ada apa-apa.”
“Kok sepertinya kamu nyimpen sesuatu? Bukan benda aneh kan?”
“Kapan aku nyimpan benda aneh? Kenapa Pakdhe berpikiran seperti itu?”
“Le, bukannya pakdhe punya prasangka gak baik. Tapi sepertinya ada yang kamu sembunyikan dari pakdhe.” Umar hanya bisa diam dan menatap Ismail dengan tatapan yang begitu tajam. Dia tak ingin jika Ismail sampai mencurigainya seperti itu. Dia tak terima dirinya dicurigai terus-menerus oleh orang sekitarnya.
“Permisi. Bu Kades.” Suara ktu membuyarkan mereka. Ada seseorang yang mengetuk pintu dan mencari Ismawati. Ismail sendiri langsung aja membukakan pintu dan melihat seorang wanita ada di depan rumahnya.
“Ada apa Mbak?”
“Bu Kades sudah istirahat Pak? Ada perlu. Penting banget.” Tak lama, Ismawati keluar dan langsung saja mendekati wanita itu. Dia ingin tau apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa perempuan itu malam-malam begini datang ke rumahnya?
“Ada apa ini? Malam-malam begini kok bertamu? Pasti ada sesuatu.”
“Maaf sekali. Saya memang lancang malam begini berkunjung. Tapi, saya mohon ikutlah dengan saya. Barusan ada kejadian penusukan.” Ismawati sendiri langsung saja mengikuti langkah dari perempuan itu. Ismail sendiri juga ikut dan melihat siapa sebenarnya yan menjadi korban penusukan kali ini.
Wanita yang mengajaknya terus meminta agar kedua orang yang ada bersamanya untuk bisa menenangkan diri saat melihat siapa yang menjadi korbannya. Dia sangat takut jika mereka kali ini ada sesuatu yang membuat mereka akhirnya sama sekali tak peduli dengan kedua orang itu.
Sesampainya di tempat itu, Ismawati terdiam melihat siapa yang tak berdaya. Ismawati tak bisa menahan amarah melihat seorang wanita yang ada di hadapannya. Kondisinya sudah sangat memprihatinkan dan berlumuran darah.
“Azura? Sedang apa kau di desa ini? Bukankah kau harusnya ikut suami kamu?”
“Mbak Is, tolong aku. Aku mohon tolong selamatkan aku dari Umar.”
“Jangan sekali-kali menuduh Umar tana bukti. Dia sekarang ada dalam pengawasanku dan suamiku. Kalo kamu menuduh Umar, kamu sama saja menuduh kami gak becus merawatnya.”
“Mbak, aku mohon. Aku sudah dibuat seperti ini oleh Umar. Aku sudah tak berdaya sama kelakuan Umar.”
“Selama ini kau kemana? Selama ini kenapa kamu tak datang untuk menengok Umar sekali saja? Apa kamu sudah bahagia dengan suami kamu? Apa kau sudah tak menyayangi Umar lagi?” Azura sendiri terdiam dengan apa yang baru saja ditanyakan oleh Ismawati.
“Zura, pertanyaan dari istriku saja kau tak bisa menjawabnya. Dia menunggu sekian tahun untuk mendapatkan jawaban itu. Dia sangat menunggu bagaimana bentuk tanggung jawab kamu dengan anak kamu. Uang sendiri kamu juga tak pernah mengirimkan. Bukankah dulu kau berniat kerja di daerah lain untuk memenuhi kebutuhan Umar? Terus? Sekarang ini Umar sudah tak berharga dalam hatimu?” Ismail langsung saja meberondong Azura dengan banyak pertanyaan. Ismawati hanya bisa terdiam mendengar pertanyaan dari sang suami. Dia juga ingin sekali mendapat jawaban atas pertanyaannya beberapa tahun silam. Tapi, sampai detik ini dia tak pernah mendapat jawabannya. Justru, dia mendapat fakta yang sangat menyakitkan.