“Ini masalah Azura.” Astutik sendiri terdiam dengan apa yang baru saja dikatakan oleh kakaknya. Azura, ibu dari Umar? Kenaoa dengan wanita itu?
“Kenapa dengan Azura?”
“Dia ada di sini. Entah kenapa, dia berada di wilayah sekitar sini.”
“Buat apa dia di sini? Apa dia mau nyari perkara? Kenapa dia baru datang saat seperti ini?”
“Astutik. Aku gak tau apa yang sebenarnya berada dalam pikiran perempuan itu. Tutik, tolong katakan padaku! Apa kau percaya jika Umar sampai melakukan penusukan kepada orang lain? Tolong jawab pertanyaanku Astutik? Apa kau percaya jika Umar sampai berani menusuk orang lain dengan senjata tajam?” Astutik langsung saja menenangkan Ismawati. Entah kenapa, ketika Umar berada di dalam pengawasan Ismawati, masalah demi masalah selalu datang dan tak tau bagaimana mereka menyelesaikannya.
“Mbak Is, aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu. Antara percaya atau tidak. Tapi aku sangat yakin kalo Umar tidak akan pernah melakukan hal itu kalau tidak ada hal yang menjadi alasan dia berbuat hal yang menurut kita nekat. Dia masih baru beranjak remaja. Dia masih baru usia 11 tahun.”
“Astutik, kenapa beberapa kali ini dia selalu menggunakan senjata tajam.”
“Mbak, sekali lagi aku bilang. Dia gak akan berbuat hal yang macam-macam seperti menggunakan senjata tajam jika dia tidak ada alasan untuk menggunakannya.” Ismawati hanya terdiam dan langsung saja memeluk adiknya.
“Astutik, entah kenapa masalah ini justru banyak datang dari Umar. Dia sering sekali marah dan tak bisa mengontrol emosinya. Tadi aku sempat bertemu Azura. Dia terluka sepertinya luka bekas senjata tajam. Dia bilang jika itu diberikan oleh Umar. dia minta tolong untuik bisa diselamatkan dari Umaer.” Astutik hanya terdiam selama beberapa saat. Terdengar suara tangisan dari sebuah ruangan. Tangisan yan sangat mereka kenal.
“Umar sedang di ruang itu?”
“Iya. Ruang itu menjadi tempatnya istirahat.” Astutik langsung saja mendekati ruangan itu. Dia membuka pintu dan terlihat Umar yang hanya terdiam. Isakan tangis itu yang menandakan jika Umar sedang tidak baik-baik saja.
“Umar.” Umar sendiri hanya terdiam dan tak lagi merespon kedatangan Astutik yang tak lain adalah tantenya.
“Bulek tau kalo kamu sakit hati.”
“Ibu sudah gak sayang sama aku. Dia sudah lupa jika aku ini anaknya. Aku sudah dihina olehnya.” Astutik sendiri yang mendengar apa yang dikatakan Umar langsung saja memeluknya. Dia tau jika semua yang Azura alami adalah palsu belaka. Sebenarnya, Azura sendiri sudah tak lagi menginginkan untuk tinggal bersama keluarga besarnya. Dia lebih memilih orang lain.
“Gak perlu kau risaukan semua itu. Gak perlu kau pikirkan sermua yang tak menyayangimu. Sekarang, masih ada orang yang menyayangimu. Masih ada orang yang ingin kamu bahagia.”
“Kalo ibu dan ayah saja tidak pernah menyayangiku. Lalu siapa lagi yang mau menyayangimu? Aku sudah dikenal sebagai anak nakal. Siapa yang mau sayang sama aku? Katakan Bulek. Katakan! Siapa yang mau menyayangi aku?”
“Orang tuamu tidak sayang sama kamu, bukan berarti semua orang juga tak pernah sayang sama kamu. Masih banyak orang yang menyayangimu. Umar, coba kau ingat Kakek sama Eyang. Mereka berdua menyayangimu. Kau ragu kalo mereka menyayangimu?” Umar meneteskan air mata. Dia sama sekali tak bisa merasakan jika orang lain menyayanginya.
“Le, kau tadi sempat bilang kalau kau mau ke rumah eyang. Berarti kau sudah tau kalo mereka menyayangimu.” Umar langsung saja menangis. Dia sangat tak ingin semua ini terjadi. Dia sama sekali tak menginginkan semua ini terjadi.
Ismail sendiri hanya terdiam. dia hanya diam dan tak lagi mau menggeledah kamar ini. Setiap kali dia mengeledah, pasti saja Umar melawan dan merasa dirinya tak pernah bisa dipercaya.
“Astutik. Ini semua kenapa bisa terjadi?”