Naskah sang kuasa

Zainur Rifky
Chapter #41

Bulek Arumi

“Mas, aku tidak berniat mendalam Umar dengan hal yang jelek, tapi, kenapa dia malah memilih berteman dengan para berandal. Mereka cuma berandal dan pemabuk.”

Umar yang mendengar semua itu tak bisa berbuat banyak. Terlihat jika kedua orang itu tak pernah setuju denga hubungannya dengan Pras dan gerombolannya. Tapi, mereka melupakan satu hal. Tak ada rumah untuk Umar. Tak ada tempat yang nyaman untuknya di rumah ini. setiap hari, hanya melihat keributan dan dirinya yang seringkali terlibat keributan.

Umar bukan lagi anak kecil. Dia sudah beranjak remaja. Tapi kenapa dia diperlakukan layaknya anak kecil? Umar bukan lagi anak kecil.

“Le, janga lagi ketemu dan kumpul samja mereka. Awas kalo kamu melawan.” Umar sendir tak bisa tingal diam. Umar tak mau kalah untuk sekarang ini.

“Kenapa Budhe? Karena alasan mereka berandal aku tidak bisa berteman dengan mereka? Dengan alasan mereka kumpulan preman aku tidak bisa berteman dengan mereka? Terus kenapa aku tidak pernah dapat tempat yang nyaman? Setiap hari isinya hanya seperti ini.”

Plak.

Tangan Ismawati langsung saja mendarat di pipi Umar. Ismail sendiri tak percaya jika Ismawat dengan berani menampar Umar.

“Is, apa yang baru kau lakukan?” Ismawati sendiri juga tak menyangka jika tangannya berhasil membuat pipi itu merah.

Umar hanya bisa menangis dan langsung saja keluar dari rumah itu. Tamparan itu bukan hanya membekas di pipinya, tapi juga menyakiti hatinya.

“Umar, kau mau kemana Le?” Umar terus berlari dan tak peduli dengan tatapan warga. Baginya, kali ini sangat menyakitkan. Semua ini sudah tak bisa dia biarkan. Dia harus bisa melawan atau dia harus pergi.

Umar terus melangkah. Melewati area persawahan milik warga entah berapa kilometer yang harus dia tempuh. Tak peduli udara dingin malam ini yang menyelimuti wilayah itu. Umar sudah terlanjur sakit hati dengan apa yang terjadi. Kejadian baru saja sudah membuktikan dan meyakinkan dirinya jika tak ada yang ikhlas menyayanginya.

Kendaraan yang lalu lalang tak ada yang mau berhenti untuk sekedar memberikan tumpangan. Mereka pikir seorang anak kecil yang ingin pulang. Tapi, mereka tak berpikir jika tempat Umar berdiri sudah jauh dari perkampungan. Tak ada kah yang mau memberikan tumpangan?

Tapi, Umar sendiri takut jika orang yang memberikan tumpangan adalah orang yang kenal dengan paman juga bibinya. Dia hanya ingin pergi. Mereka tak lagi menyayanginya.

“Tuhan, kenapa semua orang tak menyayangiku? Apa aku sudah tak pantas untuk hidup di dunia ini?” Umar mulai goyah. Langkahnya mulai terseret. Kakinya mulai mengeluh. Entah sudah berapa langkah dan seberapa jauh Umar terus melangkah. Umar ingin istirahat di pinggir jalan. Umar hanya ingin istirahat dan tenang. Istirahat fisik dan mentalnya. Dia ingin disayang dan dimengerti oleh orang yang ada di sekitarnya.

“Tuhan, aku hanya ingin disayang.” Tak terasa, tetesan air mata itu keluar. Umar memegang pipi tempat mendaratnya tangan sang budhe di pipinya. Sakit itu sudah hilang. Tapi tidak dengan sakit hati yang ada di hatinya. Dia sudah terlanjur sakit.

Tak lama, sebuah cahaya kendaraan mendekat. Sopir mobil itu yang melihat anak yang baru saja menginjak usia remaja dan terduduk di tempat seperti ini merasa curiga. Dia sendiri langsung saja melihat kondisi Umar yang sangat kelelahan.

“Lho, Le, Cah Ganteng. Kamu kenapa ini, Le?”

“Paklek.”

“Le, kamu sedang apa di sini? Pulang ayo.” Umar sendiri sangat takut jika dia harus kembali ke rumahnya. Dia sangat takut jika harus kembali ke Wanarandu. Umar mnggeleng.

Lihat selengkapnya