“Kenapa? Kaget aku datang kesini? Kau puas sudah menelantarkan anak yang kau lahirkan?”
“Mbak, bukan begiut Mbak. Aku tidak bermaksud untuk seperti itu.”
“Terus? Umar datang ke rumah dan mengadukan semua tentang kamu. Kakak ipar kamu juga mengatakan hal yang sama. Memalukan kamu itu.” Azura sendiri gemetar dan berusaha menjeaskan apa yang terjadi.
“Mbak, bukan seperti itu. Ini terpaksa. Aku sudah mengandung anak suamiku yang sekarang. Aku hanya ingin dia bertanggung jawab atas anak yang aku kandung.”
“Dengan cara menelantarkan anakmu sendiri? Ingat Azura, anakmu yang kedua adalah anak diluar nikah. Sedangkan Umar adalah anak kandung kamu yang sudah dapat pengakuan dari negara.”
“Mbak Rosma.”
“Ingat Azura, aku mewakili suamiku kecewa sama kamu. Ternyata kau tak ada bedanya dengan perempuan yang menjajakan tubuhnya di lokalisasi.”
“Mbak Ros, kenapa aku kau samakan dengan mereka? Apakah aku seburuk mereka?”
“Kau dengan senang hati menyerahkan kehormatanmu pada lelaki yang bukan siapa-siapamu, apa itu benar?” Ali langsung saja bicara mendengar semua itu. Rosma sudah cukup untuk mewakili amarahnya.
“Mas, tolong dengarkan aku dulu Mas. Aku sama sekali tidak pernah menyerahkan kehormatanku pada siapapun. Dia sudah menjebakku dan aku tak punya pilihan lain.”
“Alasan saja kamu itu.” Ali sendiri terlihat begitu kecewa dengan Azura. Dia hanya ingin memberi pelajaran pada adiknya yang sudah membuat malu.
44
“Mas, aku minta tolong sama kamu. Aku hanya ingin diselamatkan.”
“Zura, apa aku gak salah dengar? Mau diselamatkan? Diselamatkan darimana?”
“Tolonng selamatkan aku dari pernikahan ini. Aku sama sekali tak ingin pernikahan ini terjadi.”
“Alasan saja kamu. Lalu kenapa saat itu kau menerima tawaran itu? Kau sama sekali gak pernah izin padaku. Padahal aku yang menjadi walimu. Kalo aku saja tak kau hormati dan seperti ini, bagaimana yang lain? Anak kamu sendiri gak kau urus. Dia sekarang sudah mau SMP. Waktu selama itu dirasakan Umar gak ada yang menyayanginya.”
“Mas Ali, maafkan aku Mas.”
“Kau baik-baik di sini. Ini keputusan kamu. Keputusan kamu menikah dengan suami kamu sekarang. Jadi susah senang harus kau jalani. Kau harus tiru adik kamu. Masa kalah sama Arumi.”
“Mas, kondisiku dengan Arumi beda.”
“Aku anggap bnasib kalian sama. Sudah, kau di sini. Yang nurut sama suami. Ini pilihan kamu sendiri.” Azura hanya hisa terdiam dengan apa yang baru saja dikatakan kakaknya. Dia sangat menyesal dengan keputusannya beberapa tahun yang lalu. Andaikan saja dia mendengar apa yanhg menjadi keinginan kakak iparnya, dia pasti tidak akan seperti sekarang ini.
“Umar, maafkan aku Le. Maafkan Ibu Le.” Azura tampak bercucuran air mata mengingat sang anak yang sekarang ini ternyata berada dalam perawatan Arumi.
***
“Maaf Mbak. Umarnya ada?”
“Ada Mas. Sebentar ya. Dia kayaknya masih syok.”
“Syok kenapa Mbak?”