“Maaf Dek Umar. Tapi, kalo aku lihat kamu sama Pras juga Sigit dekat banget. Apa, kalian pernah melakukan hal itu? Maksud aku, kau pernah berhubungan seperti itu?” Ikram sendiri memberikan kode pada Umar. Umar mengerti maksud dari Ikram. Hubungan layaknya orang dewasa lakukan.
“Sudah beberapa kali aku melakukannya. Gak tau kenapa Mas Ikram, aku gak bisa menolak ketika mereka mengajak hal itu. Seperti ada sesuatu yang lebih dalam diri mereka berdua. Ada apa Mas?”
“Yang aku tau nih Umar, sebelum ini mereka itu pernah melakukan hal yang sama. Tapi, sering gak bertahan lama. Paling lama beberapa bulan saja. Sedangkan, kamu ini sudah hampir 2 tahun.”
“Aku gak tau kalo masalah itu. Aku kenal Mas Pras sejak kelas 5. Eh, kelas 5 apa masih kelas 4 ya aku pertama kali ketemu dia? Waktu itun udah diajak Eyang. Udah tinggal di rumah Eyang. Mas Pras yang sering membelaku kalo lagi ada masalah sama teman-teman aku. Uang aku kan sering kena rampas dan sering dihadang di tengah jalan waktu pulang.” Ikram sendiri akhirnya hanya bisa terdiam dan mengiyakan. Ada hal yang ingin dia sampaikan, tapi sepertinya ini bukan saatnya untuk memberi sesuatu terkait hal itu.
“Mas Ikram, ada apa?”
“Eh, gak ada apa-apa Dek. Gimana sekolah kamu? Bukankah ini sudah hampir dua minggu kamu sekolah di tempat yang baru?”
“Eh, lumayan nyaman Mas. Gak ada teman yang jahatin aku seperti waktu aku masih SD.”
“Ya sudah. Semoga kamu betah di daerah ini. Aku lihat kamu juga gak pernah bertengkar sama Bulek kamu.”
“Bulek bisa lebih mengerti. Pakdhe Ali dan Budhe Rosma juga gak pernah bilang macam-macam. Aku sangat nyaman di tempat ini Mas.”
“Ini sudah menjelang sore. Kamu bisa pulang. Maaf lho Dek, waktunya pulang malah aku ajak jalan-jalan.”
“Gak apa-apa Mas Ikram. Aku juga senang bisa ketemu Mas.”
Mereka berdua akhirnya berpisah jalan. Umar sendiri langsung saja memasuki daerah tempat dia tinggal saat ini. Tak lama, salah seorang temannya mengejar dan berjalan sejajar dengan Umar.
“Umar, nama kamu Umar kan? Rumah kamu sekitar sini kan?”
“Iya. Ada apa?”
“Aku boleh bareng?” Umar langsung saja mengiyakan. Banyak hal yang mereka bicarakan, termasuk soal siapa yang tadi bersamanya.
“Aku selama ini tinggal di Wanarandu.”
“Jauh banget. Terus, di sini tinggal sama siapa?”
“Sama Bulek.” Merreka sendiri tak sadar sudah sampai di depan rumah yang Umar tinggali. Terlihat Arumi yang sudah menunggu Umar. Umar dan temannya langsung saja berpisah.
“Kamu itu, bukannya langsung pulang malah kelayapan. Jangan dibiasain kayak gitu.”
“Maaf Bulek.”
“Masuk! Ditunggu sama Pakdhe kamu.”
“Pakdhe Ali?”
“Iya Le. Ada sesuatu itu yang mau pakdhe kamu berikan. Sana! sebelum pakdhe kamu marah.” Umar langsung saja menemui Ali yang kali ini sedang menyiapkan sesuatu untuknya.
“Pakdhe, ada apa?”
“Kamu ke toko buku ya. Ini uangnya. Buku kamu katanya kurang kan?”
“Ini? Untuk aku?”
“Lho, iya Le. Untuk kamu. Katanya semalam bukunya kurang.”