“Waduh, jadi gak enak sendiri sama ibu-ibu. Sebenarnya bukan marah. Tapi ponakanku itu kayak gak punya teman. Padahal teman yang seusia dengan dia di daerah ini kan banyak.”
“Anaknya siapa sih itu Mbak?”
“Anaknya Mbak Azura. Ibunya katanya kerja, sampai sekarang gak tau gimana kabarnya. Kasihan anaknya terlantar dan gak ada yang merawat.”
“Terus, yang merawat selama ini siapa?”
“Budhenya. Budhe dari pihak ayah. Tapi katanya di sana lagi gak harmonis. Makanya Umar pergi dan bisa sampai di rumahku.”
“Waduh Mbak. Kok Eman temen. Anak kok di sia-siakan. Masih banyak yang pengen punya anak tuh.”
“Sudah Bu. Gak apa-apa. Sekarang dia sudah aman sama buleknya. Dia juga gak banyak ulah kan selama ini.” Warga lain menimpali.
“Iya sih, tapi kok agak bandel ya.”
“Aduh, bandel anak usia segitu. Wajar Bu.”
Arumi hanya bisa tersenyum saat mendengar pembicaraan warga. Dia sendiri juga terus saja memperhatikan Umar yang kali ini entah sedang apa. Dia hanya diam bersama Alif juga Dayat. Mereka sedang bercerita entah terkait apa.
“Gampang akrab sama orang ternyata Umar itu ya Mbak.”
“Syukur Bu RT. Tapi juga khawatir. Kalo dia malah lebih akrab sama orang yang gak bener gimana?”
“Itu PR kita. Bukan hanya kamu saja Mbak. Semua warga sini juga harus waspada lho ya. Kan yang bisa dekat dengan geng itu bukan hanya Umar, tapi semuanya.” Arumi hanya terdiam mendengar semua itu. Tetap saja, apa yang dikatakan Yuni harus dia antisipasi.
“Umar, sini dulu Le!”
“Kenapa Bulek?”
“Ini, ada jajan lebih. Dibagi sama teman-teman kamu.”
“Sebanyak ini Bulek?”
“Iya. Dibagi sama temannya. Gak boleh pelit.” Umar hanya mengiyakan. Semua jajanan itu langsung saja diambio, oeh beberapa anak di sekitar. Umar hanya dapat satu buah dan itu membuat dia senang. Dia hanya ingat saat di Wanarandu. Sering dia tak pernah dapat jatah jajan karena sudah diambil dan dihabiskan oleh anak lain.
“Umar, dimakan Umar. Malah ngelamun. Sebelum disita sama anak lain lho.” Umar sendiri langsung saja memakan jajajan itu. Dia tak ingin jika jajan yang ada di tangannya harus diambil anak lain. Alif yang melihat semua itu hanya bisa menggeleng.
“Umar, kok cara makan kamu kayak gitu sih?”
“Emang kenapa?”
“Gak baik Umar. Pelan-pelan kalo makan.” Umar sendiri tak menjawab apa yang dikatakan oleh Alif.
“Lho, kenapa ini? Kok ribut aja. Masih pagi.”
“Bu Arum, Umar makannya buru-buru.”
“Sudah ya. Gak usah marah seperti itu. Biar ibu yang ngingeti Umar. Kamu lanjut sama kegiatan kamu.” Alif hanya busa terdiam dan melihat Umar. Umar tak banyak bicara. Dia tak tau kenapa dia salah.
“Bulek.”
“Kenapa Le? Kalo makan pelan-pelan. Kesedak nanti kamu kalo begitu caranya.” Umar hanya bisa terdiam dengan apa yang baru dikatakan oleh Arumi. Dia tak bisa lagi membantah.
“Mbak Arum. Ada tamu. Katanya dari sekolah Umar.” Salah satu warga langsung saja mendekat dan menyampaikan apa yang ada di depan rumahnya. Terlihat ada dua orang lelaki yang masih sangat muda sudah menunggu untuk bertemu dengan Arum dan Umar. Ada hal yang ingin dia sampaikan pada mereka.
“Pak Wahid, Pak Shiddiq. Ada apa Pak?”