Naskah sang kuasa

Zainur Rifky
Chapter #47

kenapa Umar?

“Kau teman dekatnya?”

“Aku saudaranya. Saudara Kak Umar.”

“Umar kenapa?”

“Gak tau Kak. Sejak masuk SMP dia berbeda. Waktu SD dia gak pernah begini.”

“Memangnya kenapa?”

“Kak Umar sempat kabur dari rumah. Dia kan sekarang tinggal sama tantenya. Dia gak mau tinggal sama ibu. Gak tau sih. Soalnya sama ibu sering bertengkar.”

“Kalian saudara kandung?”

“Bukan Kak. Saudara sepupu.”

“Terus?”

“Kak Umar sudah gak ada lagi orang tua. Orang tuanya sekarang gak tau kemana. Pergi dan gak peduli lagi.” Imran sendiri tak enak hati untuk bilang kejadian sebenarnya. Dia tau, Umar sangat membenci kedua orang tuanya. Dia menganggap jika senua yang terjadi kali ini akibat dari kekegoisan kedua orang tuanya.

***

Umar terdiam di tanah lapang. Tanah lapang tempat yang nyaman untuk sekedar bersantai di ayunan. Ayunan itu menjadi tempat Umar dalam kesendiriannya. Tak ada yang bisa dia ajak untuk sekedar berkeluh kesah. Semua masalah yang ada harus dia pikul seorang diri. Amarah, sedih kecewa becampur dalam hatinya. Dia tak tau harus bagaimana untuk menghadapi semua masalah yang sekarang ini menimpa dirinya.

“Umar.” Umar sendir terkejut dengan keberadaan Ikram dan Pras di taman ini. Sejak kapan mereka berada di tempat ini?

“Mas Ikram? Mas Pras?”

“Kamu kenapa Umar? Kamu sedih ya?”

“Aku. Aku gak apa-apa.”

“Kalo gak ada apa-apa kenapa kamu sampai menangis? Kenapa kamu sampai meneteskan air mata? Itu berarti kamu kenapa-napa Umar.” Umar hanya bisa menggeleng. Dia sama sekali tak ingin bercerita terkait apa yang terjadi. Entah kenapa, selalu saja ada teman dan kakak kelasnya yang melakukan bully padanya. Dia tak tau, kenapa dia terus mendapat bully.

“Kenapa aku selalu dapat ejekan? Kenapa aku selalu dapat omongan yang tak pantas dari orang lain? Apa aku memang tak layak untuk hidup di dunia ini?”

“Kata siapa?”

“Terus, kenapa aku lahir? Aku gak diharapkan sama orang tuaku. Aku sendiri gak dianggap ada sam akedua orang tuaku. Budhe juga terus memusuhiku. Gak pernah seharipun aku sama Budhe damai. Selalu saja ada masalah yang membuat kami bertengkar. Sekarang, semua tak banyak berubah. Bulek sendiri juga sangat ketat saat aku ingin keluar.” Mereka hanya terdiam mendengar apa yang baru saja Umar ceritakan. Umar langsung saja menangis setelah dia bercerita terkait semua itu. Tak ada tempat di dunia ini yang mau menerima dia. Tak ada tempat di dunia ini yang tersenyum padanya.

Umar terdiam dan hanya menatap kedua orang yang sekarang ini sedang menemaninya. Dua orang yang sekarang ini memang dianggap Umar sangat perhatian dan selalu mengerti terkait apa yang terjadi pada dirinya.

“Umar, kan ada kami. Kenapa kamu malah berpikir seperti itu?”

“Mas Pras, aku sendiri gak tau. Tapi, aku merasa kalo dunia ini memang gak pernah adil sama aku. Dunia memang gak pernah peduli dengan aku.”

“Kata siapa?” Umar sendiri terdiam mendengar semua itu. Umar sendiri tak tau harus menjawab apa. Tapi, dia sendiri yakin jika semua itu memang benar terjadi.

“Umar, itu semua hanya emikiran kamu. Kami akan selalu ada walaupun kjamub harus beberapa kali pindah rumah. Aku yakin, mungkin kamu gak lama lagi harus tinggal di Wanarandu lagi.”

“Itu gak boleh terjadi Mas. Terus buat apa aku capek-capek malam itu kabur? Aku sudah gak kuat. Tiap hari ada aja masalah. Aku gak mau kembali ke Wanarandu.”

“Walaupun misalnya gak ke Wanarandu, misalnya ke rumah eyang kamu?” Umar sendiri hanya bisa terdiam dan tak bisa menjawab. Dia sendiri sangat tak ingin jika itu semua terjadi. Dia tinggal di wilayah ini sudah sangat nyaman dan tak ada lagi orang yang bilang dirinya anak bandel atau hal semacamnya.

Lihat selengkapnya