“Le, ada apa sih? Tadi malah ngelamun.”
“Gak ada apa-apa.”
“Gak ada apa-apa kok malah asik ngelamun? Kalo ada masalah cerita sama Bulek. Gak baik kalo dipendam sendirian.”
“Takut Bulek.”
“Takut kenapa sih Le? Ada apa? Bulek jahat ya?” Umar menggeleng. Arumi sendiri terheran.
“Takut nanti kena marah.”
“Belum cerita kok udah takut kena marah. Memang masalahnya apa sampai takut kena marah? Umar melanggar peraturan sekolah?”
“Enggak Bulek.”
“Terus, kalo bukan melanggar? Masalah apa?” Umar terdiam beberapa saat. Dia sendiri tak mungkin bercerita terkait semua yang pernah terjadi di Wanarandu. Dia sendiri juga nerasa takut karena Ismawati selalu saja marah saat dia cerita. Dia selalu saja kena marah jika dirinya protes masalah apapun.
“Takut Bulek.” Tampak mata Umar yang basah. Tetes demi tetes air mata yang menandakan dia sedang ketakutan.
“Lho, belum-belum kok udah nangis duluan itu lho. Kenapa sih Le?”
“Gak ada yang pernah sayang sama aku.”
“Siapa yang bilang Le? Siapa yang bilang gak sayang sama kamu?”
“Ibu gak sayang sama aku Bulek. Terus, siapa yang sayang sama aku. Budhe bisanya cuma marah. Aku selalu salah.”
“Ya Allah Le. Kenapa kamu ini Le? Ya sudah Le, kamu di sini saja. Pokoknya kamu gak macem-macem, bulek gak akan pernah sampai segitunya.”
“Aku gak pernah merasa aman di sana Bulek.”
“Gak aman gimana maksud kamu Le? Ada yang jahatin kamu ta Le? Atau, ada orang yang buat kamu sampai merasa gak aman?”
Umar mulai cerita. Banyak hal yang dia ceritakan terkait semua yang pernah dia alami. Percobaan penculikan sampai dia harus beberapa kali berpindah rumah. Dia capek dan merasa tak ada keluarga yang mau menerima anak sepertinya. Banyak orang yang juga memberikan cap anak nakal.
“Le, selama kamu mau nurut dengan aturan bulek dan aturan wilayah sini, kamu bakal aman Le. Yang penting kamu jangan berbuat ulah.”
“Bulek, aku hanya membela diri. Terus aku kenapa selalu disalahkan?”
“Gak ada salahnya kamu membela diri. Itu gak salah. Yang pengting ada alasan kuat kenapa kamu harus membela diri. Kalo dijahati, kenapa harus diam saja? Harus dilawan Le. Bulek yakin, kamu anak cowok yang pemberani. Gak apa-apa kalo misalnya sampai bertengkar, tapi kamu ada di pihak yang benar.” Umar terdiam dengan apa yang dikatakan oleh Arumi.
“Selama ini aku selalu dianggap salah. Aku berkelahi karena barang aku sering dirampas. Terus aku dikata-katai anak nakal. Padahal dulu buku sering gak bisa beli. Belinya selalu telat. Waktu bisa beli beberapa kali harus dirampas. Terus kalo aku gak melawan, apa aku harus tak punya buku tulis?”
“Ya sudah Le, yan penting sekarang kamu aman. Kamu bisa melawan kok. Yang penting kami punya alasan kuat kenapa harus melawan.”
Umar sendiri tersenyum mendengar apa yang baru saja Arumi katakan. Dia tak pernah menyangka kalau Arumi bisa sependapat denganya. Umar selama ini selalu disalahkan saat dia harus melawan. Dia selalu dianggap salah jika harus bertemgkar saat merebut sesuatu yang itu sebenarnya hak darinya.
“Umar, nanti malam kamu ikut bulek ya.”
“Kemana?”
“Ke rumah pakdhe Ali. Kamu akan belajar di sana mulai nanti malam.” Umar sendiri terdiam dan tak bisa melawan apa yang menjadi perintah dari Arumi. Dalam hatinya, ingin sekali Umar bisa keluar. Ingin sekali Umar bisa pergi bertemu Pras dan yang lain. Hari ini kan jadwalnya balapan. Pasti rame dan bisa bertemu banyak orang.
Arumi sendiri yang melihat ekspresi Umar hanya bisa menggeleng. Sepertinya ada sesuatu yang Umar sembunyikan darinya.