“Le, wajar Pak RW curiga kalo kamu lihat balapan. Habisnya, kan jalanan arah kamu berasal itu dari tempat geng motor balapan. Hati-hati lho Le.” Wanita itu mendekat dan memegang pipi Umar. Anak yang begitu tampan secara natural.
“Maaf Bu.”
“Ya sudah, jangan diulangi lagi. Kalo sampai ketahuan, hukumanya gak main-main lho. Bukan ibu lagi yang ngasih hukuman. Tapi warga.” Umar sendiri hanya mengiyakan dan langsung saja pulang. Dia sendiri tampak bingung jika tak bisa melihat acara itu. Padahal, kapan lagi dia bisa bertemu para anggota geng itu kalo bukan saat balapan seperti semalam?
Umar nerus terdiam dan tak mood untuk aktivitas hari ini. Padahal dia sendiri punya banyak tugas yang harus segera diselesaikan.
“Umar, waktunya belajar. Ayo, belajar! Buku kamu mana Le?” Umar terkejut dengan keberadaan Arumi di tempat ini. Dia sama sekali tak menyadari jika wanita itu sudah berada di tempat ini.
“Eh, Bulek. Aku, belum nyiapin semua.”
“Kamu ini malah ngelamun. Jangan terus melamun. Ganteng gini malah sering ngelamun. Kesambet nanti gimana?” Umar sendiri hanya terdiam dan menjalani hari seperti biasanya.
Di tempat Ali malam harinya. Banyak hal yang Arumi tanyakan. Dia sendiri sangat khawatir dengan apa yang terjadi pada Umar. Beberapa hari terakhir, dia sering sekali mendapati Umar yang ingin keluar malam. Bahkan, kemarin saja dia sampai pulang terlalu larut.
“Arum, aku mohon maaf gak begitu tau kemana Umar setelah dari tempat ini. Yang aku tau, semuanya sudha pulang dan kembali. Gak ada curiga apapun Umar kemana.”
“Tapi Mas, dia itu kemarin pulang di atas jam 10 malam. Itu kan sudah melanggar aturan di wilayah ini, apalagi dia masih usia sekolah lho.”
“Umar? Pulang jam segitu?”
“Iya Mas. Aku juga beberapa kali memergoki dia keluar di jam yang seharusnya tak pantas ungtuk kelayapan. Aku takut hal yang aneh. Apa dia sudah terjerat sesuatu dengan geng itu ya?”
“Kamu gak tanya teman-teman Umar gitu? Mereka pasti banyak tau terkait siapa saja dia bergaul.” Arumi sendir terdiam dan hanya bisa mengikuti apa yang disarankan kakaknya. Dia hanya melihat Umar yang kali ini hanya bisa untuk belajar. Arumi sendiri sebenarnya tak ingin terus berada di sini. Ingin sekali dia pulang dan mengerjakan pekerjaan rumah yang lain. Tapi, dia sendiri takut jika Umar kelayapan tak jelas seperti yang pernahb terjadi.
Umar sendiri selesai dan bersama Arumi langsung saja pulang. Umar sendiri beberapa kali menengok jalan kampung tempat balapan dilaksanakan. Dia sebenarnya ingin sekali ikut lihat lagi. Tapi kali ini, Arumi pasti tidak akan pernah mengizinkan dia untuk kembali ke tempat tersebut.
“Le, kamu itu lihat apa sih?”
“Gak ada Bulek.”
“Kamu ini kenapa sih Le? Kamu ada yang dikhawatirkan?”
“Enggak Bulek. Gak ada apa-apa.” Umar sendiri mengikuti Arumi untuk pulang. Arumi sebenarnya khawatir dengan apa yang terjadi. Melihat ekspresi Umar dan apa yang dia lihat dalam bahasa tubuhnya, sepertinya memang ada sesuatu yang Umar sembunyikan.
“Le, kamu gak ada hubungan apapun kan sama geng itu?”
“Kenapa? Kalo misalnya aku jawab iya, terus kenapa?”
“Lho, kok gitu sih Le jawaban kamu? Berarti selama ini bulek bener dong?”
“Eh, Bulek, gak begitu. Bukan begitu maksudku.”