“Tapi kau tak perlu susah-payah seperti itu Mbak. Karena, Umar sudah menghapus namamu dari hatinya.” Arumi sendiri terdiam dan langsung saja pergi. Dia tak bisa membuat hati Umar terluka dengan apa yang baru saja terjadi. Umar, dia harus bisa menebus semua salahnya pada Umar.
***
Beberapa hari berikutnya, Umar dan Arumi kaget dengan kedatangan polisi di rumah mereka. Mereka hanya ingin perlu dengan Umar yang diketahui dekat dengan seseorang pengedar narkoba.
“Enggak. Kenapa Bapak bisa menuduhku seperti itu?”
“Maaf Dek. Boleh Bapak periksa tasnya?” Tas itu langsung saja diserahkan ke pihak kepolisian. Mereka menggeledah isi tas tersebut dan menemukan sebuah paket yang dimaksud. Arumi sendiri sangat tak percaya dengan semua itu.
“Ya Allah Le, kau dapat barang itu darimana Le?”
“Bulek, itu hanya titipan Bulek. Aku gak pernah tau isinya Bulek.”
“Maaf Ibu, ananda harus kami periksa dulu. Kami hanya ingin memastikan apa benar jika ananda ini hanya dititipi atau memang ada kaitannya dengan kasus yang sedang kami tangani.”
“Bulek, gak mau. Aku gak mau ke kantor polisi Bulek.”
“Le, ikutlah sama Bapak ini dulu. Bulek nanti akan datang Le.” Umar sendiri hanya bisa menangis ketika lelaki yang berseragam polisi membawanya menuju mobil polisi. Umar sendiri selama perjalanan hanya terdiam dan ketakutan.
Ketika sampai, dia melihat Ikram berada di depan kantor polisi. Umar sendiri langsung saja menyerang Ikram secara membabi-buta. Dia tak mengerti, kenapa lelaki yang sudah dia percaya justru harus menjebaknya seperti sekarang ini.
“Umar, maaf Umar. Maaf.”
“Kau hanya ingin aku temani di penjara kan? Bilang aja.”
“Enggak Umar. Bukan maksud aku seperti itu.”
“Aku gak percaya.” Pukulan demi pukulan terus Umar layangkan pada lelaki itu. Beberapa orang polisi langsung saja memegangi Umar dan membawanya masuk. Umar sendiri terus memberontak dan ingin memukuli lelaki itu. Tapi, seorang polwan langsung saja meminta agar Umar bisa mengendalikan amarahnya.
“Dek, sudah Dek. Ayo, kita masuk.”
“Tapi aku berada di sini gara-gara dia.” Polisi itu langsung saja membawa Umar untuk masuk dan bisa memberikan keterangan terkait semua ini.
“Atas nama Umar?” Umar hanya bisa mengiyaan. Dia sangat ketakutan dengan apa yang berada di hadapannya. Tak lama, seorang lelaki yang masih muda datang dan langsung saja meminta izin untuk bisa menenmani Umar.
“Maaf Pak, bisa saya menemani adek saya? Ada sesuatu yang bisa saya kasih tau terkait kasus ini.”
“Silahkan Mas. Ada informasi terkait kasus ini?”
“Pak, dia tidak bersalah. Dia tidak tau jika barang yang dititipkan ke dia beberapa hari lalu adalah barang terlarang. Saya bisa jamin Pak. Saya juga ada beberapa bukti kalo dia tidak bersalah.” Lelaki itu langsung saja mengeluarkan beberapa bukti yang dirasa kuat. Umar sendiri hanya terdiam dengan apa yang dilakukan lelaki yang ada di sampingnya. Yang dia tau, lelaki itu adalah orang dekat dari Pras. Dia tak begitu dekat dengannya.
“Ini bukti yang bisa dipake. Mas tau kasus ini?”
“Saya yang tau Pak. Saya tau banyak terkait kasus ini. Biar saya yang ditahan. Karena saya yang lebih tahu terkait kasus ini daripada adek saya.” Polisi itu hanya mengiyakan.
“Ya sudah, ini tidak perlu ada penahanan. Tapi, Mas saya minta tidak keluar kota dulu selama beberapa waktu hingga kasus ini bisa selesai.”
“Siap Pak.” Umar sendiri langsung diajak keluar dan hanya bisa mengucapkan terima kasih. Lelaki itu hanya tersenyun dan senang melihat bocah yang selama ini Pras sayangi tak ditahan oleh kepolisian.
“Terima kasih Mas. Terima kasih.”
“Lain kali hati-hati Dek. Ikram itu ternyata bukan bagian dari kita. Dia bagian dari kelompo sebelah. Kau pasti masih ingaty Misbah kan?” Umar sendiri terdaim dan akhirnya ingat dengan seseorang yang bernama Misbah. Lelaki muda yang mengaku sebagai anak dari penculik itu.
“Ingat Mas.”
“Umar, Pras tidak mengizinkan kamu untuk pergi ke markas kita di daerah itu sendiri dan kapanpun, karena takut kamu jadi sasaran mereka. Lain kali hati-hati kalo ada yang ngaku dekat sama Pras. Dia hanya penyusup.”
“Penyusup?”