“Mbak, tolong ceritakan padaku. Apa yang baru Umar lakukan? Umar gak berbuat macam-macam kan?”
“Arumi, maaf aku harus katakan ini padamu. Karena aku rasa kamu begitu bertanggung jawab atas dirinya.”
“Mbak, apa itu Mbak? Apa yang dia lakukan Mbak?” Rosma terdiam beberapa saat. Dia menarik nafas dan akhirnya mau tak mau bercerita. Berat sekali dia menceritakan semua itu.
“Umar tadi aku lihat bawa pisau. Tadi pisau itu berdarah. Maksud aku, ketika aku bertemu dengan dia, pisau itu sudah berlumuran darah.”
“Pisau? Berdarah?”
“Iya Rum. Dia sepertinya baru selesai menghajar seseorang. Aku pagi tadi ketemu sama Ismawati di pasar. Banyak hal yang dia katakan, termasuk soal Umar dengan senjata tajam seperti pisau.” Arumi sendiri terdiam dan tak banyak bicara. Dia tak tau harus berbuat apa kali ini.
“Mbak, gimana ini Mbak? Aku takut kalo dia sampai kenapa-napa.”
“Iya, aku tau kok apa yang kau rasakan. Itu juga aku khawatirkan. Yang paling penting, kita harus kerjasama. Anak-anak kita harus diawasi dengan intens, terutama Umar.”
“Mbak Rosma, aku sebenarnya senang saat Umar di sini. Ada warna dalam hidup aku. Kalo aku gagal merawatnya, bagaimana jadinya?”
“Gak perlu khawatir yang berlebihan. Aku sangat memahami kalo kamu sangat khawatir. Tapi, yang paling penting, adalah gimana untuk langkah kedepannya.” Arumi sendiri hanya terdiam. Arumi sendiri menatap pintu yang kali ini tertutup.
“Le, Umar. Buka pintunya Le.” Pintu tersebut ternyata tak dikunci. Umar sendiri terlihat hanya diam dan tampak murung. Arumi mendekat. Dia ingin banyak bicara dengan keponakannya.
“Bulek. Ada apa Bulek?”
“Le, tadi kamu baru kemana?”
“Gak kemana-mana. Aku, gak kemana-nana.” Arumi melihat ada sesuatu yang Umar sembunyikan. Umar sendiri menjauh dan merasa akan mendapat hukuman.
“Kau gak apa-apa? Kenapa kamu seertinya ada sesuatu yang mengganggu hati?”
“Gak ada Bulek.”
“Serius?” Umar terdiam dan lama sekali diam. Arumi sendiri menunggu jawaban dari keponakannya.
“Bulek.”
“Iya Le? Kenapa? Kok sepertinya ada sesuatu yang mengganggu hati kamu.”
“Ibu kenapa jahat sama aku?” Arumi sendiri terdiam dengan pertanyaan dari Umar. Tak tau harus menjawab apa.
“Umar, yang sudah lewat, biar itu lewat.”
“Tapi Bulek, Ibu gak sayang sama aku dan sekarang ibu berbeda dengan masa lalu aku.”
“Umar, sekarang gak perlu kepikiran apa yang membenci kamu.” Umar sendiri terdiam dan lama sekali terdiam.
“Sudah Le, ayo keluar dulu. Ada sesuatu yang akan kamu terima.” Umar sendiri akhirnya mengikuti langkah Arumi.
***
“Mas Pras, aku mau ngucapin terima kasih.”
“Atas?”
“Makasih atas perhatianya selama ini.”
“Dek Umar, aku sebenarnya hanya kasihan sama kamu. Bukan kasihan karena apa. Tapi, aku ingin merangkul orang yang berasal dari keluarga gak beruntung.” Umar sendiri tersenyum. Senyuman anak ituyang membuat siapapun hati remaja tak bergetar. Pras sendir menahan apapun yang ada dalam hatinya. gejolak itu muncul. Dia ingin sekali berbuat demikian dengan Umar.
“Mas Pras?”
“Eh enggak Dek. Gak ada apa-apa.”
“Serius?”
“Eh, gak ada apa-apa.” Umar sendiri terdiam dan memeluk Pras. Dia tak bisa menahan apa yang ada dalam dirinya. Dia tak tahan untuk melakukan hal demikian dengan Umar. Umar sendiri hanya bisa terdiam saat Pras mulai menyentuhnya. Umar sendiri sangat menikmati semua yang mereka lakukan di tempat itu.
“Mas, terima kasih hari ini.”
“Aku, gak tau Umar. Aku siudah sangat bersalah melakukan apa yang baru saja terjadi.” Pras sendir akhirnya pergi. Umar hanya terdiam dengan kepergian Pras.