“Bu, memang dia selama ini harus pindah dari satu rumah ke rumah yang lain. Dia memang sering begitu, terutama saat masih duduk di bangku SD. Sekarang enggak. Semalam dia menolak kembali ke rumah keluarga ayahnya. Dia bahkan sampai marah.” Wiwit hanya terdiam mendengar cerita itu. Yang dia tau, memang Umar selama ini tidak tinggal bersama kedua orang tuanya. Dia tinggal menumpang rumah saudaranya.
“Umar. Kau nyaman kan tinggal di sini?” Umar hanya mengangguk. Dia sangat nyaman dan tak ingin kembali ke wilayah itu.
“Aku gak mau kembali.”
“Iya Le, kamu di sini aja. Sama bulek aja.” Umar hanya bisa terdiam. Dia terlihat begitu menentang jika harus pindah rumah begitu saja.
“Kalo memang nyaman, ya gak apa-apa. Takutnya gak nyaman.”
Umar sendir langsung memasuki kamarnya. Dia menatap beberapa barang yang diberikan Sigit kemarin. Entah kenapa, barang itu memberikan dia sensasi lain. Dia seperti terbang. Dia hanya menatap beberapa pil yang pernah berhasil membuat dia terbang dan seakan perg ke sebuah negeri yang sangat indah.
“Umar.”
“Bulek. Ada apa Bulek?”
“Kamu sedang apa Le? Apa yang kau sembunyikan?”
“Gak ada Bulek. Gak ada apa-apa.” Arumi sendiri mendekat dan langsung saja memegang tangan Umar. Umar sendiri tak bsa berbuat apapun saat tangan itu sudah dipegang.
“Umar.”
“Eh, apa Bulek?”
“Ini apa Le? Kamu, pake narkoba?”
“Enggak Bulek gak ada apa-apa. Ini, bukan apa-apa.”
“Umar, jawab yang bener Le? Ini Pil apa?”
“Enggak Bulek. Itu, cuma pil obat aja.” Arumi sendiri hanya menggeleng.
“Le, jangan coba-coba konsumsi barang ini.”
“Enggak Bulek. Enggak.”
“Awas aja aklo kamu sampai konsumsi seperti ini.” Umar sendiri terdiam dan tak bisa berkata apapun. Umar hanya terdiam dan tak ingin membuat masalah.
***
“Maaf Mas, Tapi aku gak bisa menyimpan barang ini.” Umar langsung saja mengembalikan barang itu ke tangan Sigit. Sigit hanya bisa terdiam melihat apa yang dilakukan Umar.
“Aku yang seharusnya minta maaf Dek. Aku tidak seharusnya menitipkan ini padamu.”
“Mas, aku sendiri gak tau. Kenapa semua ini harus terjadi.”
“Kenapa Dek?”
“Aku lebih nyaman di daerah ini. Bisa dekat sama Mas Pras dan teman-teman lainnya. Aku juga gak harus marah-marah dan bertemngkar setiap hari.” Umar sendiri hanya bisa terdiam dan meneteskan air mata. Dia sangat takut jika itu semua akan sangat membuat dirinya tak berharga. Tak ada orang yang menganggapnya orang baik.
“Umar.”
“Mas, aku di sini sementara waktu gak apa ya.”
“Kenapa harus gak boleh? Anggap saja ini rumah. Anggap di sini rumah bagimu. Kalau memang ingin kesini, gak apa-apa. Tapi kamu harus ingat apa yang dikatakan Pras. Daerah ini sebenarnya tidak begitu aman untuk kamu.” Umar hanya terdiam dan menatap sekelilingnya. Sigit sendiri terlihat tengah heboh sendiri denga apa yang menjadi kegiatannya.
Umar hanya terdiam dan menatap lelaki tersebut. Tak ada hal yang kali ini ingin Umar ceritakan. Dia lebih memilih berada di sini beberapa waktu sebelum pulang.
“Umar, kamu kenapa?”
“Eh. Gak apa-apa Mas Sigit.”
“Kamu cerita aja. Kenapa sih?”