“Umar.”
“Eyang, kenapa Eyang?”
“Kok malah melamun sih Le? Ayo masuk.” Umar hanya mengiyakan dan langsung saja memasuki rumah. Rumah itu tak berubah. Terdengar beberapa komentar dari beberapa warga. Mereka sepertinya mengetahui apa yang terjadi pada Umar beberapa tahun terakhir.
Umar sendiri sebenarnya sangat tak nyaman untuk mendengar semua itu. Ingin sekali dia tak ada di wilayah ini. Tapi, kemana lagi Umar harus pergi kalo bukan ke tempat ini?
Malam harinya, Umar sekerdar ingin berjalan dan menyusuri jalan yang pernah dia lalui. Apakah Pras masih bermarkas di tempat ini?
Umar sangat hafal jalan itu. Sampai akhirnya, dia sampai di sebuah tempat yang tak jauhb dari markas Pras dan teman-temannya. Terlihat sebuah bangunan yang sangat jelas. Ada beberapa orang yangb berada di sana. Umar sendiri sangat mengenali orang-orang tersebut.
“Umar.”
“Mas Fajar?”
“Kamu sedang apa di sini?”
“Enggak Mas. Gak ada apa-apa.” Fajar hanya menatap Umar yang kali ini terdiam. Dia sudah diketahui oleh salah satu kelompok tersebut jika dia ada di sini.
“Ayo, kau mau mampir?” Umar hanya mengiyakan. Mereka langsung saja mendekat dan tanpa ragu, Umar sendiri dibawa Fajar ke teman-temannya. Pras sendiri kaget dengan kedatangan Umar. Kenapa dia bosa sampai di tempat ini?
“Lho, Fajar? Kenapa dia bisa sampai di sini?”
“Gak tau Mas Pras. Aku tadi ketemu Umar di semak-semak. Sepertinya dia ingin ke sini. Makanya, aku ajak sekalian dia ke sini.”
“Ya sudah, biarkan dia masuk.” Umar sendir akhirnya masuk. Banyak yang mereka bicarakan. Umar sendiri hanya bisa menangis menceritakan apa yang terjadi hari ini. Dia harus meneria kenyataan jika dirinya haris kembali ke desa ini.
“Aku gak tau Mas. Aku gak tau kenapa semua ini harus terjadi. Kenapa gak ada orang yang benar-benar menyayangiku? Kenapa semua orang hanya mementingkan dirinya sendiri? Aku gak tau harus seperti apa?” Umar sendiri menceritakan semua itu dengan kondisi yang bercucuran air mata. Pras hanya bisa mengerti dengan kondisi dari Umar.
“Umar, sudahlah. Tak perlu menangis. Kami di sini akan selalu ada untuk kamu.” Umar hanya mengiyakan dan tersenyum dengan apa yang baru dikatakan Pras. Dia sangat beruntung bisa bertemu Pras dan mereka sangat perhatian dengan dirinya.
“Tapi, bagaimana dengan sekolahku?”
“Perlu kami antar? Aku tau, sekolah kamu tetap di sana kan? Di daerah bulek kamu kan?” Umar hanya bisa mengiyakan.
“Umar, mungkin kami bisa ngantar kamu. Kami kan geng motor. Bisa bonceng kamu biar segera sampai.” Umar hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
Umar sendiri pulang setelah semua urusannya selesai. Dia tak ingin ketahuan banyak warga dan tak ingin banyak mendengar komentar negatif terkait dirinya selama ini.
“Lho, Ummr. Kamu tingal di sini sekarang Le?” Umar sendiri terkejut dengan suara itu. Suara yang berasal dari salah seorang warga.
“Iya Bu.”
“Lho, kok mau sih tinggal di sini sih Le? Bukankah lebih enak tinggal di bulek kamu itu? Kan dekat sama sekolah.”
“Gak tau Bu. Diminta di sini.”
“Sudahlah Bu. Memang gitu. Kalo orang tuanya gak sayang, siapa lagi yang sayang sama anaknya. Rata-rata Bu ya, kalo orang tuanya gak perhatian anaknya, ya cuma kakek sama nenenknya yang ngurusin. Banyak Bu kejadian.” Seorang warga langsung saja bicara. Hal itu membuat Umar semakin sakit hati. Semua prasangkanya selama ini terjawab dengan omongan warga yang sekarang berada di hadapannya.
“Masa sih? Bukankah saudaranya kayak bulek atau budhenya juga punya anak?”
“Aku sudah membuktikan sendiri. Aku lihat sendiri. Mereka lebih mementingkan anaknya daripada keponakannya. Aku yakin Bu, kalo selama ini Umar itu jadi anak tiri di rumah yang selalu mengaku keluarga dari orang tuanya.”
Umar sendiri akhirnya pamit dan langsung pulang. Umar hanya bisa menangis dan hanya marah. Dia sangat marah dengan kenyataan jika di dunia ini tak ada yang meyayanginya selama ini.