“Kapan aku benar-benar disayang? Kapan aku benar-benar disayangi seperti teman-temanku yang lain? Kalo semua orang bisa membandingkan aku dengan temanku, kenapa hidupku gak bisa aku bandingkan dengan temanku? Mereka ada keluarga lengkap. Mereka punya semuanya. ada kehangatan dalam rumah mereka. Tidak seperti aku yang harus mengemis belas kasihan ke orang lain.”
“Le, kembali ke rumah bulek ya Le. Bulek gak bisa lihat kamu nelangsa seperti ini.”
“Aku gak mau Bulek. Aku gak mau kembali ke rumah orang yang jelas sudah mengusirku. Aku gak mau.” Umar sendiri pergi. Arumi hanya bisa menangis. Tak disangka, kejadian hari itu membuat pengaruh yang sangat negatif bagi Umar.
Arumi sendiri diam-diam mengikutu keponakannya. Dia harus tau apa yang terjadi pada Umar setelah harus pergi dari rumahnya. Arumi sangat takut dengan pergaulan Umar. Dia punya perasaan tak enak jika Umar semakin dekat dengan mereka. Arumi sendiri tak lepas untuk memantau Umar walaupun dia sudah tak lagi serumah dengan keponakannya.
Umar sendiri sembunyi-sembunyi untuk berhubungan dengan mereka. Dia tak ingin jika semua ini mengakibatkan sesuatu yang membahayakan dirinya dan yang lain. Apalagi, setelah ada sebuah kejadian, geng motor yang dikomandani Pras sangat diincar oleh pihak kepolisian.
Umar sendiri tak ingin jika keberadaan Geng motor pimpinan Pras itu ketahuan. Kepada Siapa dia menyandarkan semua ini? Tak ada lahgi yang peduli dengan dia. Ismawati sendiri tiap hari hanya bisa memarahinya. Tak tau Umar salahnya dimana. Yang penting, Ismawati hanya bisa marah. Umar juga sangat kasihan dengan Yuni yang selalu saja membelanya. Yuni sendiri tak menyukai gaya Ismawati saya mengingakan Umar.
“Ismawati, kamu itu kepala desa. Jangan arogan. Kalo sama keponakan yang ditangung aja arogan seperti ini, bagaimana kamu memimpin orang satu desa? Wanarandu itu bukan desa kecil. Desa yang kau pimpin itu desa yang lumayan besar.” Ismawati terdiam dengan apa yang baru saja dikatakan oleh ibunya.
“Bu, jangan sepeti ini Bu. Aku malu.”
“Malu? Kau bilang malu? Pikirkan juga perasaan Umar. Kamu ini orang tua. Kamu juga seorang ibu. Kalo kamu gak mau anak kamu dan kamu sendiri malu, kenapa kamu malah mempermalukan keponakanmu sendiri?” Ismawati hanya terdiam mendengar amarah itu. Bukan begitu maksud dia.
“Bu, tolong lah Ibu. Aku hanya ingin Umar lebih baik.”
“Is, kau gaj ada bedanya dengan Kusuma. Kamu sama saja dengan dia.”
“Bu, jangan seperti ini lah Bu. Kenapa Ibu bilang aku sama seperti Kusuma? Aku tidak seperti dia.”
“Iya. Kamu tidk selingkuh. Itu bedanya. Hanya itu. Tapi sikapmu ke Umar? Lihat wajahnya. Tengok wajah keponakanmu yang satu ini. Dia sangat ketakutan. Ketakutan melebihi saat dia harus berhadapan dengan Kusuma.” Ismawati hanya bisa terdiam dan langsung saja mendekat. Umar sendiri tak mau dekat lagi dengan Ismawati. Sejak kejadian penamparan itu, Umar sangat menjaga jarak dengan Ismawati. Umar sangat takut dan membenci Ismawati.
“Le, budhe minta maaf sama kamu Le.”
“Aku sudah kecewa sama Budhe.”
“Umar.” Ismawati hanya bisa terdiam dan tak banyak berkomentar dengan hal itu. Dia hanya terdiam dan menatap pintu kamar itu.
***
“Arum. Kau sudah tak lagi memantau Umar?”
“Mbak, aku masih memantau dia. Aku masih bertanggung jawab atas hidupnya dia. Tapi, semua sepertinya tak bisa seperti yang diharapkan. Dia tak lagi peduli denganku Mbak.”
“Tak peduli?”
“Gak peduli lagi. Dia tak mau bertemu denganku. Dia selalu menghindar. Sejak dia harus ikut suami kamu, dia menganggap aku mengusirnya. Dia menganggap aku tak lagi menyayanginya. Bahkan, Umar sendiri menganggap semua sayang yang aku berikan selama ini hanya ilusi belaka. Aku dianggap hanhya sekedar pura-pura.” Ismawati terdiam dan tak bisa berbuat apapun pada Arumi. Bahkan, Arumi yang tak tau kejadian yang sebenarnya harus mendapat konsekuensi yang terjadi.
Niat arumi sebenarnya sangat baik. Dia hanya ingin Umar jauh dari pengaruh hal negatif. Tapi, justru semua itu malah membuat dampak negatif itu semakin besar bagi Umar. Semua itu berdampak negatif pada Umar. Itu sangat tak diinginkan.
“Aku sebenarnya menyesal Mbak. Aku menyesal sudah memintanya untuk keluar dari tempatku. Aku malah membuat Umar semakin dekat dengan mereka. Selama tinggal bersamaku, Umar memanh kesulitan untuk kemanapun. Aku memanh agak disiplin sama dia. Warga juga saling kerjasama. Bahkan dia beberapa kali kena sanksi dari RW.”
“Rum, aku minta maaf atas kejadian ini. Aku tau kamu gak mudah membuat Umar menjadi seperti dia yang selama ini ada di rumahmu. Tapi kami menghancurkannya.”