“Aduh, malah tanya penampilan. Udah pasti pernampilan mereka sangar.” Arumi hanya bisa mengangguk.
“Baiklah. Mungkin aku harus memberimu kesempatan untuk membuktikan itu semua.” Perempuan itu langsung saja meminta arumi mendekat. Dia ingin berbisik padanya.
“Mbak, mungkin nanti malam atau besok siang, ikutlah denganku kesana. Ke tempat yang aku curigai. Tempat itu sangat aneh. Di situ sering Umar berkumpul. Di situ Umar sering banyak bercerita. Entah, apa yang mereka ceritakan. Tapi, kelihatan Umar bisa begitu lepas untuk cerita itu semua. Aku kok jadi takut sendiri Mbak kalo lihat akrabnya Umar sama mereka.” Arumi sendiri hanya mengiyakan. Mungkin harus kesana besok siang.
***
Arumi berjalan dan hanya bisa berhati-hati. Dia bersama salah seorang wanita tak ingi jika sampai ketahuan oleh para anggota itu. Terlihat, mereka sangat aneh. Mulai dari penampilan dan segala hal yang melekat dalam diri mereka.
Terlihat Umar sendiri yanhb baru saja ingin pulang. Entah, sebentar sekali dia berada di situ. Tak seperti biasanya, yang bisa sangat lama untuk bercengkrama bersama mereka.
“Mbak, lihat Mbak. Kau bisa lihat sendiri sekarang ini. Aku bukan mau menyebar fitnah terkait kepnakanmu. Aku bukan bermaksud seperti itu. Tapi ini semua memang beberapa kali aku lihat. Hanya saja, sekarang ini dia lebih cepat. Gak selama biasanya.”
“Apa mungkin karena dia harus kerja?”
“Mungkin Mbak. Aku tau, tempat kerjanya memang menerima karyawan paruh waktu. Tapi terkenal sangat disiplin. Itu di sekolahnya Umar.” Arumi hanya terdiam dan mendengar pembicaraan mereka.
“Mas. Aku gak bisa lama di sini. Aku harus kerja.”
“Lho, udah kerja saja kamu ini? Masih sekolah lho.”
“Aku sekarang gak sama Bulek. Aku sama Eyang. Mereka sudah tua. Jadi mau gak mau aku harus kerja dan harus cari uang jajan sendiri.” Umar sendiri langsung saja pergi. Dia berjalan kaki. Kedia wanita itu dengan sangat perlahan, meninggalkan wilayah itu.
Mereka mengikuti Umar yang menuju sebuahb rumah makan. Rumah makan yang sangat sederhana dan dekat masih satu area dengan sekolah Umar dan dekat area perkantoran.
“Umar kerja di sini?”
“Iya Mbak. Langganannya anak sekolah dan orang kantor. Ini sebenarnya dikelola oileh sekolah Umar. Cuma letajknya aja di luar area sekolah.” Arumi hanya mengangguk. Terlihat Umar mulai melakukan tugasnya. Beberapa kali, terlihat harus diingatkan oleh karyawan lainnya. Tapi Umar bisa melakukan tugasnya dengan sangat baik.
Arumi hanya bisa meneteskan air mata. Dia tak menyangka jika Umar harus seperti ini setelah dirinya meminta untuk dia kembali ke keluarga sang ayah. Harusnya, dia tetap mempertahankan Umar di rumahnya.
Umar sendiri kali ini hanya fokus ke pekerjaanya. Dia tak begitu peduli dengan siapapun orang yang berada di luar tempatnya bekerja.
Waktu terus berjalan. Umar sendiri masihb bekerja di tempat itu sambil meneruskan sekolahnya. Dia sangat senang bisa menerima uang jajannya sendiri. Tapi, ada sesuatu yang kurang. Ada sesuatu yang tak lengkap dalam hidupnya. Tak ada orang yang betul-betul menyayanginya.
“Bulek, kenapa Bulek tega ngusir aku?” Umar sesekali menangis. Dia masih saja merindukan kasih sayang dari Arumi yang tak bisa digantikan siapapun. Arumi selama ini memang begitu menyayangi Umar dan menghargainya, walaupun Umar beberapa kali meminta keringanan terkait aturannya yang begitu ketat.
Beberapa kali Arumi mendatanginya di sekolah dan tempat kerjanya. Tapi, Umar sendiri hanya bisa tersenyum dan menganggap semua tak ada yang terjadi dengan mereka.
“Le, kau tak mau untuk fokus sekolah saja?”
“Biar aku kerja Bulek. Aku gak mau merepotkan siapapun.”
“Siapa yang kau repotkan? Gak ada yang repot untuk semua ini.”
“Enggak Bulek. Aku sudah banyak menyusahkan orang. Aku juga sering menyusahkan Bulek Arumi. Aku sudah sering membuat Bulek malu.”