“Mas Fajar. Tapi, gak tau kenapa aku sama sekali nyaman. Bahkan, aku bisa menikmati hal itu bersama mereka.”
“Umar, kau tau kenapa aku tidak pernah melakukan itu denganmu?”
“Kenapa Mas?”
“Karena aku tak mau mengambil kehormatan kamu. Aku sangat menyayangi dan menghormatimu sebagai seorang adik. Bukan hanya sebagai pelampiasan dari hal yang seperti itu saja.” Umar hanya bisa terdiam. Fajar sendiri mengantar Umar untuk bisa pulang. Umar sendiri tak mengerti. Doia tak mengerti dengan apa yang terjadi.
“Umar, kau masih bekerja?”
“Masih Mas. Tapi bukan di tempat yang kemarin. Sekarang kerja di tempat kenalannya Eyang. Di koperasi desa. Sekalian mau neruskan untuk lahannya beliau.” Fajar tersenyum dan banyak sekali memberikan pesan pada lelaki di hadapannya.
“Habiskan waktu di tempat itu! Maksudnya, manfaatkan waktu di tempat itu. Aku sangat yakin kalo kamu bisa untukm berkembang dan menjadi orang yang lebih baik.” Umar yang masih tak paham dengan omongan Fajar hanya bisa terdiam. Umar memang tak berencana melanjutkan kuliah walaupun selama SMA ini masih saja ada prestasi yang lumayan jika dipake untuk mendaftar kuliah di tempat yang dikenal begitu ketat persaingannya. Dia hanya ingin bekerja dan bisa membantu kakeknya. Umar langsung saja masuk dan melihat Arumi yang tampak membereskan rumah Yuni.
“Le, kamu kenapa Le? Wajah kamu kok pucat? Kamu sakit?”
“Bulek?”
“Umar, kamu sakit?”
“Aku sehat kok Bulek. Mungkin capek aja.”
“Kamu serius Le? Kok wajah kamu pucat begini?”
“Gak apa-apa Bulek. Mungkin kecapekan aja. Aku hampir gak bisa istirahat.”
“Ya sudah, kamu istirahat saja. Bulek siapin makanan ya.”
“Lho, eyang kemana?”
“Eyang sekarang lagi periksa. Katanya lagi sakit. Maklum Le, eyang juga sudah usia. Makanya bulek kesini.” Arumi yang tau Umar seorang diri di rumah hanya bisa menemaninya. Dia tak peduli apapun respon dari Umar. Dia hanya ingin menunjukkan jika masih ada orang yang menyayanginya.
“Le. Kamu ini kenapa sih Le? Kok cemberut aja?” Umar hanya bisa meneteskan air mata sebelum cerita.
“Gak apa-apa Bulek. Aku, keluar dari tempat kerja.”
“Keluar? Kenapa? Ayo, cerita sama bulek. Kenapa dengan tempat kerjamu yang sebelumnya?”
“Diminta Eyang. Padahal enak kerja di sana. Tempatnya nyaman Bulek. Temannya juga nyaman.” Terlihat ada gurat kekecewaan di wajah Umar. Arumi sangat bisa memandang semua kekecewaan itu. Entah berapa kekecewaan yang ada di wajah keponakannya.
Arumi yakin, Umar bukan hanya sekedar menyimpan kekecewaan karena harus menuruti permintaan dari neneknya. Ada hal lain yang dia simpan dalam hatinya.
“Le, sejak kamu kerja, kamu jarang minta uang saku. Padahal, gaji kamu berapa sih? Pasti gak besar.”
“Tapi lumayan Bulek kalo cuma untuk uang saku. Padahal, aku sendiri pulang pergi juga sama teman. Cuma ganti uang bensin aja.”
“Gak apa-apa Le. Semoga ada rezeki di tempat lain.”
“Gak pernah ada tempat senyaman tempatku yang kemarin Bulek. Gak pernah aku merasakan dapat tempat yang nyaman seperti tempat kerja yang kemarin mereka paham sama aku Bulek. Bahkan, kalo misalnya pulang malam, aku diberi kesempatan belajar.” Arumi terdiam. Itulah alasan kenapa Umar betah sekali untuk kerja di tempat tersebut. Bukan karena gaji atau apa. Masalah rekan kerja. Bahkan Umar pernah bilang jika atasannya sangat ramah dan tak pernah sampai menghina jika bawahannya melakukan kesalahan.
“Le, kan sekarang sudah ada tempat yang baru. Kalo sekarang ini, disyukuri saja Le. Semoga ada ganti tempat yang nyaman seperti kemarin.”
“Tapi beda. Itu kan orangnya Budhe. Caranya sama seperti budhe.”