“Mas, ini sebenarnya wajar dialami untuk penderita infeksi paru. Yang penting jangan lupa makan, biar obat bisa diberikan.” Umar hanya terdiam. Hamidah tersenyum dan banyak berpean pada Umar.
“Terima Kasih Dokter.”
“Sama-sama Mas. Segera sembuh ya. Jangan lama-lama ada di rumah sakit.” Hamidah dan Shaka akhirnya selesai. Shaka akhirnya memutuskan pulang.
Ismawati mendekat saat Shaka telah selesai dengan pekerjaannya. Dia ingin sekali berbicara dengan Shaka sore ini.
“Shaka, aku tak mengganggu?”
“Budhe. Ada Budhe?”
“Bagaimana kondisi Umar?”
“Jangan tanya ke saya. Tanya ke dokter Hamidah. Beliau sekarang yang menangani mas Umar. Tadi sudah ditangani langsung kan sama beliaunya. Jadi aku hanya membantyu kali ini.”
“Maaf Le, tadi aku emosi.”
“Itu sepertinya masalah keluarga. Tapi, aku mohon, ini rumah sakit. Mas Umar juga sedang sakit. Jangan marah-marah seperti itu di tempat seperti ini.”
“Le, sekali laiu minta maaf.”
“Gak perlu minta maaf. Kalo memang Budhe mau minta maaf, bukan seharusnya minta maaf padaku. Minta maaf sama orang yang terganggu sama kejadian tadi.” Shaka langsung saja berlalu. Terlihat, dia bertemu dengan seorang wanita yang usianya lebih muda dari Shaka. Ismawati hanya teringat, wanita itu adalah Sakinah. Dia adik dari Shaka.
Perempuan itu hanya terdiam dan langsung saja pulang. Dia hanya termenung mendengar apa yang dikatakan oleh ibunya. Apa dia memang tak pernah menyayangi Umar seperti layaknya dia menyayangin kedua putranya?
Di ruang perawatan.
“Sudahlah Le. Gak perlu dimasukkan ke hati omongan dari budhe kamu.” Umar hanya terdiam dan tak banyak bicara. Tampak tetes demi tetes air mata keluar. Dia sangat sakit hati dengan apa yang dikatakan oleh Ismawati. Ismail sendiri tak bisa berbuat apapun. Dia tak tau harus bagaimana lagi untuk bisa membuat Umar kembali ceria.
“Bu Yuni, aku akan di sini. Aku akan menginap di rumah sakit. Sampai Umar bisa pulang.
“Serius?”
“Serius Bu. Aku akan menginap. Aku juga akan membayar semua biaya pengobatab Umar.”
“Nduk, apa gak begitub berat? Biaya pengobatan Umar kan gak murah. Biayanya besar.”
“Bu, gak perlu ragu sama Arumi. Memang, hidupnya kelihatan biasa saja. Tapi jangan salah, dia itu punya usaha. Dia punya usaha dimana-mana. Makanya dia uangnya banyak. Tapi, memang dia memilih untuk tka hidup mewah.” Yuni hanya terdiam dan tak banyak berkomentar untuk hal itu. Perempuan itu, ternyata sangat menyayangi Umar.
“Arumi, kau sangat sayang sama Umar.”
“Itu yang membuat aku memnyesal telah meminta Umar untuk keluar dari rumah itu. Umar sendiri kondisi mentalnya sangat baik saat berada bersama Arumi. Bahkan, saat marah dan menghukum, kelihatan banget kalo itu marah dan hukuman sebagai bentuk sayang.”
Terlihat, Arumi sangat sedih melihat Umar yang kondisinya seperti yang dia lihat kali ini.
“Bulek? Bulek di sini?”
“Iya Le. Bulek bakal nemani kamu. Kamu segera sembuh ya. Katanya kamu mau kerja lagi. Mau kerja kan?” Umar hanya terdiam. Tak tau apa dia masih diterima di tempat kerjanya atau sudah tak lagi.
“Bulek, Bulek masih sayang sama aku? Walaupun aku sekarang ini sudah membuat Bulek malu?”