“Saya ingat Dokter, awal Umar tinggal sama saya, dia sangat tertutup. Dia takut cerita terkait masalah yang dia hadapi. Bahkan, sering Umar menangis seorang diri. Alhamdulillah, Umar sekarang jauh lebih terbuka sama saya. Dia sangat terbuka. Walaupun, pernah ada kejadian yang membuat hatinya kecewa, tapi Umar masih saja terbuka. Dia pernah menangis. Dia menangis saat saya datang ke rumah eyangnya. Dia cerita harus keluar dari tempat kerjanya, karena permintaan dari eyangnya. Dia masih SMA waktu itu. Eyangnya sebenarnya ingin Umar fokus sekolah saja. Tapi Umar gak mau. Dia gak mau merepotkan eyangnya.”
“Dekat berarti sama mas Umar.”
“Mas Fajrin, Umar bukan orang lain bagiku. Dia sudah seperti anak saya sendiri. Bahkan, sampai sekarang, Umar masuk ke kartu keluarga saya. Alamatnya dia sekarang ini, tercatat di rumah yang saya tinggali.”
“Sehat-sehat ya Bu Arum. Bu Arum pahlawan buat Umar.” Arum hanya tersenyum. Umar sendiri tampaknya begitu lapar. Bubur di sampingnya belum terbuka.
“Le, makan dulu ya Le. Sudah waktunya kamu makan.”
“Masih gak enak makan, Bulek.”
“Sedikit saja ya Le. Sedikit saja.” Umar sendiri akhirnya mau makan. Hamidah sendiri kali ini membantu melepas masker ketika ingin makan.
“Nanti kalo sudah, bisa dipasang seperti biasanya.” Umar hanya bisa tersenyum.
Kedua orang itu keluar. Hamidah sendiri kali ini terdiam saat melihat taman rumah sakit.
“Dokter, kenapa Dok?”
“Gak apa-apa Mas. Cuma, gak nyangka saja, pasien yang aku tangani bisa melalui jalan hiduo seperti demikian.”
“Tapi, masih bisa bersyukur. Masih bisa bertemu orang seperti Bu Arumi.”
“Iya Mas. Masih ada orang baik yang setia sama Mas Umar.” Hamidah sendiri akhirnya pergi karena ada pasien yang harus segera dia tangani. Fajrin juga harus pergi. Ada janji dengan salah seorang kliennya.
***
“Bulek. Kapan aku bisa pulang Bulek?”
“Gak tau Le. Semoga saja gak lama.”
“Bulek, aku kangen ibu Bulek. Kenapa Ibu gak datang kesini Bulek?” Arumi tampak meneteskan air mata. Empat hari dia dirawat, ternyata Umar begitu merindukan sosok ibunya. Tapi, kali ini Arumi tak bisa berbuat banyak. Arumi tak tau dimana keberadaan kakaknya. Sejak pertemuan terakhirnya, Azura tak pernah lagi menampakkan diri. Dia kesulitan untuk berkomunikasi dengan kakaknya.
“Le, ibu kamu sekarang gak tau dimana keberadaannya. Semoga bulek bisa segera bertemu ibu kamu ya Le.” Umar hanya terdiam. Dia sangat merindukan pelukan hangat dari ibunya.
“Apa ibu marah sama aku Bulek?”
“Semoga enggak Le. Semoga enggak.” Arumi kali ini benar-benr tak bisa berbuat banyak. Kondisi yang sekarang ini, membuat Arumi hanya bisamemanjatkan doa untuk keponakannya.
“Le, bulek ke masjid dulu. Sebentar saja.” Umar hanya mengiyakan.
Di tempat lain, Fajrin tengah bertemu dengan lelaki yang penampilannya begitu sangar. Dia tak lain adalah Fajar. Sudah beberapa tahun terakhir, Fajar melakukan serangkaian sesi terapi psikologis bersama Fajrin.
“Mas Fajar, sepertinya saya tau siapa yang kau maksud.”
“Maksud Mas Fajrin?”
“Lelaki yang kau maksud, namanya Umar? Dia sekitar usia 22 tahun sekarang ini?”
“Perkiraan iya Dokter. Baru masuk usia 22 tahun.”
“Ayo Mas, ikut saya.”
“Kemana Mas?” Fajrin sendiri berdiri dan Fajar hanya mengikuti. Mereka sampai di sebuah ruang rawat inap. Fajar sendiri sangat tak percaya dengan apa yang dia lihat. Lelaki muda yang sekarang ini terbaring lemas di ruangan itu.