Naskah sang kuasa

Zainur Rifky
Chapter #65

Kusuma

“Mas Umar, saya sangat mengerti rasanya. Sejak kecil, aku tak pernah merasakan tinggal bersama orang tua. Ayah sudah meninggal dan ibu gak tau dimana sekarang berada. Umar, kita bernasib sama. Kau bisa. Aku yakin kau pasti bisa melewati semua ini.”

“Apa aku bisa seperti yang lain? Apa aku bisa diterima di tengah-tengah banyak orang? Aku selama ini dikenal anak bandel. Banyak orang yang bilang akua nak bandel. Aku gak pantas disayang.”

“Kenapa enggak? Umar, sebenarnya, yang paling penting bukan diterima di tengah orang. Tapi, bagaimana kita bisa diterima oleh sang kuasa. Kalo sang kuasa yang menerima kita, semua akan baik-baik saja Mas. Aku tau sih, memang berat. Tapi, begini. Kalo sang kuasa menerima kita, aku yakin, kekuasaannya akan sangat membantu kita di segala situasi. Kau harus percaya itu Mas Umar. Kau harus percaya hal itu.” Umar hanya terdiam dan meneteskan air mata.

“Mas, apa aku masih boleh untuk dekat dengan sang kuasa?”

“Kenapa harus gak boleh? Kau pasti kenal mas Fajar. Dia juga baru beberapa tahun ini sangat dekat denganku. Dia datang dan meminta dibimbing. Dibimbing untuk bisa dekat dengan sang kuasa. Dengan sang pencipta. Asal kamu mau, aku siap bantu.” Umar hanya terdiam beberapa saat. Dia akhirnya tersenyum dan mau untuk hal itu.

“Tolong aku. Tolong aku. Aku ingin kembali. Aku ingin kembali pada sang kuasa. Aku merasa jauh dari sang kuasa beberapa tahun belakangan.”

“Aku akan bantu Mas Umar. Gak ada alasan aku menolak seseorang yang ingin memperbaiki dirinya.” Lelaki itu tersenyum. Dia akhirnya bertemu Arumi yang sejak tadi mendengar pembicaraan mereka.

“Zavier.”

“Bu Arumi.”

“Apa kabar kamu Le? Gimana kabar paklek kamu?”

“Sehat Bu. Paklek sekarang sudah hampir pensiun Bu. Sudah gak pegang jabatan apapun di sekolahnya.”

“Iya Le. Paklek kamu memang sudah hampir pensiun. Tapi kelihatan beliau masih sehat. Masih bertenaga.” Lelaki muda itu tersenyum.

“Zavier, terima kasih ya Le. Terima kasih sudah mau membantu Umar.”

“Sama-sama Bu. Umar kalo sudah sembuh tak minta untuk sering datang ke tempatku. Biar prosesnya bisa aku pantau secara detail.”

“Iya Le. Sekali lagi terima kasih ya.” Lelaki itu langsung saja pergi. Arumi sendiri membawa kabar yang sangat menyenangkan.

“Bulek.”

“Le, kondisi kamu sudah jauh lebih baik. Sebentar lagi kamu bisa pulang. Kamu bisa istirahat di rumah. Tapi, kamu belum bisa kerja dulu. Kamu harus istirahat paling tidak seminggu. Baru bisa melakukan pekerjaan kamu seperti biasanya.” Umar terdiam dan hanya tersenyum. Tak lama, Hamidah sendiri datang dan sangat memuji Umar.

“Umar. Kamu jangan kemana-mana walaupun sudah diperbolehkan pulang. Nanti, saya akan datang ke rumah kamu rutin. Gak keberatan kan?” Umar sendiri menggeleng. Sama sekali tak ada keberatan untuk hal tersebut.

“Terima kasihb Dokter. Terima kasih.” Hamidah hanya mengiyakan. Memang, pertemuan mereka baru satu minggu. Tapi kedekataj itu sudah terjalin. Dokter Shaka yang hari itu kebetulan tengah berdinas menyempatkan waktu hanya untuk bisa bertemu dengan Umar.

“Dokter, dokter Shaka kemana?” Hamidah terdiam. Dia menoleh dan terkejut dengan pertanyaan Umar.

“Shaka sedang repot. Sebentar lagi harus menangani salah satu pasiennya. Harus operasi. Dia minta maaf gak sering untuk menjenguk kamu.” Umar terdiam.

“Dokter Shaka? Dokter muda itu kan Le?”

“Iya Bulek.”

“Kenapa memangnya?”

Lihat selengkapnya