“Mbak, tolong Mbak. Jangan marah seperti ini. Aku kali ini juga tak sehat.”
“Sekarang? Kau memelas dan beralasan gak sehat? Kau minta dikasihani gara-gara gak sehat? Selama kamu sehat, kamu kemana? Bahagia sama wanita itu? Gak peduli dengan orang tua kamu yang kondisinya semakin hari semakin melemah?”
“Mbak Is. Aku harus apa?” Ismawati hanya terdiam dan menatap lelaki itu. Jujur saja, dia masih sangat sakit hati atas apa yang pernah terjadi. Dia hanya ingat keponakannya. Dia sangat bersalah atas apa yang terjadi pada keponakannya.
“Umar sekarang sakit. Dia sekarang sedang sakit. Tapi, masih ada orang baik yang menanggung semua biaya pengobatannya. Bahkan, dokter yang menanganinya, memberi keringanan terkait biaya pengobatan Umar. Masih banyak orang yang perhatian dengan Umar. Tapi, aku sangat kecewa, dari sekian banyak orang yang peduli, tak ada orang tuanya. Orang tuanya justru pergi bersama pasangannya masing-masing.” Ismawati tampak meneteskan air mata. Tak kuasa dia mengingat semua itu. Tak kuasa, Ismawati mengingat selama ini yang Umar lalui.
“Mbak. Terima aku kembali.”
“Kamu mau kembali? Dengan kondisi kamu yang seperti sekarang ini? Kamu hanya menambah beban Ibu. Kamu hanya menambah beban dari orang tua kita.” Kusuma meminta dengan sangat.
“Mbak, tolong Mbak.”
“Minta sana sama istri kamu. Kemana istri kamu yang kau puja selama ini?”
“Dia sudah pergi Mbak.”
“Kenapa kamu gak ikut?”
“Mbak. Dia boros.”
“Boros? Kamu bisa bilang dia boros? Kenapa kalo dia boros, kamu bertahan sampai beberapa tahun?”
“Mbak, tolong Mbak.” Ismawati langsung saja pergi. Tak peduli Kusuma meminta apapun itu. Dia sudah terlanjur sakit hati.
Sesampainya di rumah, terlihat Umar mulai berjalan dan merawat kebun milik kakeknya. Wijaya hanya melihat Umar dari kejauhan.
“Pak, kenapa Umar dibiarkan aktivitas?”
“Dia yang mau Is. Aku gak bisa mencegahnya.”
“Tapi, Umar kan masih harus istirahat.”