“Ih masa lalu. Alasan aja nih orang tua. Gak udah sok perhatian yan Pak. Karena Bapak gak pernah benar-benar sayang sama anak Bapak. Anaknya aja sampai disetrika seperti itu. Gak malu Pak?” Kusuma terdiam dengan apa yang terjadi. Dia memang bersalah.
Tak lama, datangb seorang lelaki. Dia menatap tajam pada Kusuma. Kusuma sendiri hanya bisa menunduk dan tak berani menatap wajah lelaki itu.
“Buat apa kau kesini?”
“Pak, izinkan aku bertemu Umar.”
“Gak, dia sedang sakit. Dia butuh istirahat.”
“Pak, sebentar saja. Aku ingin menemaninya.”
“Gak perlu. Sudah ada orang yangb lebih menyayanginya daripada kamu. Kamu, mending pergi dari desa ini. Kamu sudah bukan lagi bagian dari keluargaku. Aku sudah mencoret nama kamu.” Kusuma hanya terdiam mendengar hal itu. Dia tak pernah melihat sang bapak marah seperti itu. Terakhir kali mereka bertemu, saat Wijaya mengusirnya dari rumah. Pengusiran itu membuat dia sakit hati. Sekarang ini, dia semakin sakit dibuatnya. Tak dianggap sebagai keluarga, membuat hidup Kusuma semakin tak berarti.
Kusuma tampak meneteskan air mata. Tak ada yang lebih sakit dari hal yang sekarang ini terjadi. Tak dianggap oleh keluarga besarnya, membuat hidup Kusuma semakin nelangsa. Terlihat beberapa orang mencibir. Mereka membela tindakan Wijaya sekarang ini.
Wijaya hanya terdiam. Sebenarnya, sebagai seorang ayah, dia tak pernah tega melihat sang anak mengalami hal itu. Tapi, tak ada pilihan lain. Banyak cerita yang dia dapatkan dari warga sekitar terkait apa yang putranya lakukan. Dia bahkan tak pernah menyangka jika Kusuma bisa tega seperti demikian pada anak kandungnya.
“Pak. Pak. Pak Wijaya.” Wijaya terkejut. Terlihat Arumi sudah berada di sampingnya.
“Rum, ada apa Rum?”
“Ayo pulang, dicari ibu. Ibu sendirian.”
“Iyas Rum. Iya.” Lelaki itu langsung pulang dan melihat istrinya begitu senang. Terlihat Umar mulai bisa beraktivitas layaknya orang sehat pada umumnya.
“Pak, Umar sudah semakin sehat Pak. Lihat. Dia sekarang bisa ngerjain kerjaan Bapak.” Wijaya hanya terdiam dan kali ini membiarkan Umar mengerjakan semua itu. Pekerjaan Wijaya terasa begitu ringan melihat semua itu. Tapi sekarang ini dia tak mau berpangku tangan. Wijaya juga mengerjakan hal lain yang bisa dia kerjakan.
“Le, kakek bantu ya Le.”
“Kakek.”
“Le, kakek bantu. Kita kerjakan ini bareng-bareng.” Wijaya mengambil beberapa barang untuk bisa dia kerjakan. Sangat terlihat jika mereka sangat akrab. Arumi sendiri menyiapkan beberapa makanan. Dia tau, makanan yang sangat disukai Umar.
“Pak Wijaya, Umar. Makan ayo. Sepertinya pekerjaan sudah beres.”
“Nduk, kok repot-repot kamu ini.”
“Gak repot Pak. Kebetulan, ada sop. Dimakan ya.”
“Nduk, kok tau aja bapak kamu ini pengen sop sekarang ini.”
“Kebetulan mungkin Pak. Makanan ini kan juga kesukaan Umar. Jadi ya aku buatkan aja.”
“Keponakan kamu ini, gak jauh beda sama aku Nduk. Makanan kesukaannya sama. Sama-sama punya watak keras. Dan, Umar sepertinya lebih nyaman kerja di tempat makan. Sama kayak aku. Dulu aku juga kerja di warung.”
“Lho, kok bisa bilang punya watak keras? Padahal, aku lihat gak keras juga kok Pak. Bu, Bapak ini kan punya watak gak keras kan?”
“Gak keras memang. Tapi memang tegas.”
“Umar juga gak keras kok.”
“Nduk, Umar selama sama kamu pernah marah?”
“Gak pernah tuh Pak. Sama sekali gak pernah. Pertama nkali aku melihat Umar marah, waktu Pak Ismail datang sama Ibu malam itu. Pertama kali lihat Umar marah. Memang, dia hanya memelas Bu. Sering saya hukum, tapi gak pernah marah. Palingan nangis atau sekedar memelas aja.” Yuni dan Wijaya hanya saling menatap. Arumi sendiri tampak tersenyum melihat Umar yang tengah makan.