Naskah sang kuasa

Zainur Rifky
Chapter #68

aku kangen ibu

“Le, kamu kenapa sih Le?”

“Gak apa-apa Bulek.”

“Kalo gak apa-apa, kenapa bisa menangis seperti ini?”

“Aku, rindu sama orang tuaku Bulek.” Arumi terdiam mendengar semua itu.

“Le, entah sudah berapa kali kamu bilang seperti ini.” Umar terdiam. Arumi kali ini ingin sekali mendengar semua yang Umar simpan dalam hatinya.

“Aku kangen ibu. Aku kangen sama ibu.”

“Kenapa kamu sekarang kangen sama ibu kamu? Bulek masih ingat Le. Kamu pernah membanting foto yang diberikan ibu kamu.” Umar juga masih ingat. Dia masih sangat ingat hal itu.

“Gak tau bulek.”

“Kok gak tau Le? Kamu bilang seperti ini sejak dirawat di rumah sakit.” Umar terdiam beberapa saat sebelum menjawab. Dia sangat ingat semua kenangan yang dia lewati bersama ibunya.

“Aku rindu disuapi sama ibu. Aku rindu disayang sama ibu.” Arumi kali ini hanya bisa diam mendengar semua itu.

“Terus, sama ayah kamu?”

“Ayah? Apa Ayah masih peduli sama aku?”

“Le, kemarin ayah kamu sebenarnya datang ke kampung ini.”

“Ayah? Datang ke kampung ini?”

“Iya Le. Beliau sebenarnya mencari kamu. Ingin bertemu kamu.”

“Terus, kenapa ayah gak sampai kesini?”

“Ayah kamu sekarang sedang sakit. Saat datang, bulek melihat kakek kamu sudah tak lagi menganggapnya.” Umar kali ini tak bisa menjawab. Dia ingat, tubuhnya seringkali mendapat siksaan yang sangat menyakitkan dari lelaki itu.

“Aku masih sakit hati Bulek.”

“Le, sakit hati kenapa?” Umar terdiam, sampai akhirnya ada yang menjawab pertanyaan Arumi.

“Umar dulu tidak diperlakukan secara manusiawi sama ayahnya sendiri. Sering banget, Umar mendapat kekerasan fisik. Kekerasan yang sebenarnya tidak layak disebut hukuman. Kekerasan yang dilakukan ayahnya, lebih ke emosi dari ayahnya sendiri.” Seorang lelaki yang usianya sudah senja, mendekati dua orang yang sedang bicara di halaman belakang rumah itu.

“Pak Wijaya? Jadi, sejak kecil, keponakanku ini sudah dapat hal yang layak dari orang tuanya?”

“Dulu, yang paling menyayangi Umar adalah ibunya. Azura dulu sangat perhatian dengan anaknya. Hanya saja, aku gak tau. Sejak dia merantau ke luar daerah, dia berubah. Dia sangat berubah. Bukan Azura yang aku kenal selama ini.” Arumi juga tak menyangka jika kakaknya yang dia kenal sangat penyayang pada saudaranya bisa melakukan hal demikian pada anaknya. Dia tak bisa menyalahkan Umar jika begitu membencinya.

“Aku juga gak menyangka Pak. Tapi, Umar sekarang ini rindu sama ibunya. Memang Pak, beberapa kali dia datang ke tempatku. Ingin sekali bisa merawat Umar dan melaksanakan kewajibannya sebagai seorang ibu. Tapi, begitulah Pak. Umar waktu itu sudah sangat marah sama ibunya.”

“Aku tau Nduk. Dia juga sempat beberapa kali kesini. Aku sebenarnya senang dia datang. Dia ingin tau kabar anaknya.”

“Mbak Azura? Kesini?”

“Iya Nduk. Tapi itu sudah lama. Terakhir sebelum Umar pergi ke tempatmu.” Arumi terdiam dan hanya menatap Umar.

“Maaf Pak. Tapi, kemarin saya lihat Bapak bicara sama ayahnya Umar. Marah sepertinya Pak Wijaya sama ayahnya Umar. Kenapa itu Pak?”

“Aku hanya kecewa Nduk. Jujur, aku sudah sangat kecewa.”

“Maaf sebelumnya Pak, Pak Wijaya tau tempat tinggal ayahnya Umar sekarang ini?”

“Hanya tau daerahnya saja Nduk. Gak tau dimana persisnya tempat tinggalnya.”

“Kalo boleh tau, daerah mana itu Pak?”

Lihat selengkapnya