“Dokter.”
“Lho, adik aku. Apa kabar?”
“Baik Dokter.”
“Tambah sehat, tambah ganteng sekarang ini ya.”
“Dokter Shaka, begitu ya Dokter sekarang ini.”
“Lho, kenapa sih? Gak enak? Kan begitu. Kondisi tubuh tambah sehat. Juga, tambah ganteng lho.” Shaka memberikan kode. Umar tampak malu-malu.
“Sudah, duduklah. Ada apa? Apa yang bisa kamu ceritakan sekarang ini?”
“Gak ada apa-apa. Aku sekarang banyak dipercaya sama atasan aku. Padahal, baru satu minggu bekerja.”
“Bagus dong. Tambah dipercaya, tambah bagus. Itu artinya, kinerja kamu tidak bisa diremehkan begitu saja.”
“Iya Dokter. Dok, kau, gak ada keinginan untuk kembali ke tanah kelahiran kamu?” Shaka terdiam. Dia hanya tersenyum mendengar semua itu.
“Enggak Umar. Aku lebih enak di tempat yang baru. Lebih nyaman dan dekat dengan tempat kerja.” Umar hanya terdiam. Dia tak bisa memaksa.
“Dokter, aku kapan-kapan boleh mampir ke rumah Dokter?”
“Kenapa harus gak boleh?”
“Ya, kali saja gak boleh.”
“Boleh. Mampirlah ke tempatku. Aku sangat senang kalo kamu bisa datang ke tempatku.” Umar hanya terdiam. Dalam hati, dia sendiri tersenyum dan senang bisa mendengar semua itu.
Umar hanya menatap lelaki itu yang kali ini sedang melayani beberapa pertanyaan dari orang lain. Banyak hal yang ingin dia bicarakan. Tapi, melihat Shaka yang sepertinya sedang kerepotan, Umar mengurungkan niatnya.
Umar sendiri langsung saja pulang. Dia kali ini ingin menyelesaika nsesuatu nyangb memamngb sedang dia kerjakan. Umar melihat beberapa tanaman yang mulai subur. Umar memang ingin berkebun. Telaten sekali Umar merawat beberapa tanaman yang belakangan ini memang mengisi waktu luangnya.
“Lho, tanamannya sekarang subur ya. Jarang bisa subur kayak gini.”
“Iya Pak. Beberapa hari belakangan ini memang Umar yang merawat. Telaten orangnya.” Lelaki itu mendekat. Dia menatap Umar yang kali ini sedang memyiram tanaman dan memberikan sesuatu di salah satu tanaman yang baru ditanam.
“Le, ini kamu yang merawat?”
“Ini, yang merawat Eyang.”
“Bukan aku. Tapi ini yang merawat semuanya Umar. Dia sangat telaten. Aku merawat sekedarnya saja.” Terdengar suara lain dari belakang. Umar langsung menoleh dan tersenyum dengan keberadaan eyangnya.
“Eyang.”
“Le, kamu sepertinya sangat telaten.”
“Bu, kenapa gak diminta buat budidaya saja. Enak lho Bu. Kalo subur seperti ini, harga jualnya bisa tinggi.”
“Kalo itu tergantung Umar saja. Kemarin dia aku minta kerja di koperasi desa dan berharap bisa meneruskan ladang yang sekarang suamiku garap, tapi sepertinya gak begitu cocok. Lebih nyaman dia kerja di rumah makan.” Lelaki itu terdiam. Sebenarnya Umar adalah orang yang telaten. Tapi, memang harus dapat tempat yang cocok.
“Ya sudah Bu, yang penting sekarang Umar bisa mandiri. Umar masih muda. Dia masih banyak kesempatan untuk mengembangkan dirinya.”
“Aku memang berpikir begitu Pak. Kalo aku begini, tinggal menunggu waktu saja untuk pulang ke sang kuasa.” Umar sendiri terdiam. Pulang menuju sang kuasa. Sang nenek hanya tinggal mnenunggu waktu karena sudah usia.
“Insya Allah Bu Yuni punya umur panjang. Nanti bisa lihat Umar sukses. Semoga Allah memberi kesempatan untuk itu.”
“Aamiin.”
“Le, bisa bapak bicara sebentar saja?”
“Pak Shiddiq? Mau bicara apa, Pak?”
“Boleh bapak masuk Le?”