“Umar kenapa?” Arumi dan Wijaya hanya bisa saling menatap.
“Maaf Mas. Ini berat. Tapi, harus aku katakan. Umar kena HIV. Dia diduga sudah terkena beberapa tahun belakangan ini.”
“Umar? Terkena HIV?”
“Iya Mas. Aku juga gak percaya sebenarnya. Tapi ini kenyataannya. Ternyata, gak ada yang tau, Umar melakukan hal terlarang dengan orang lain.”
“Hal terlarang? Seperti?”
“Maaf, dia melakukan hubungan terlarang dengan lelaki. Dia melakukan hubungan itu selama beberapa tahun sebelum dia akhirnya ketahuan kena HIV.” Umar? Kena HIV? Dia melakukan hubungan itu dengan lelaki?
“Umar. Umar, ini salahku. Umar, Anakku.” Kusuma akhirnya tak sadarkan diri. Arumi dan Wijaya tampak bingung. Tak lama, keluar seorang lelaki dari samping rumah. Lelaki itu mendengar suara kursi roda yang terjatuh, langsung saja melihat kondisi Kusuma.
“Pak Kusuma, Ya Allah. Ini Bapak kenapa?”
“Tadi baru menyampaikan terkait kabar anaknya. Tiba-tiba langsung pingsan.” Lelaki itu langsung menggotong tubuh Kusuma ke ranjang terdekat.
“Pak Kusuma.” Lelaki itu langsung saja memanggilkan dokter. Dokter yang memang dekat dari tempat ini.
Dokter itu langsung saja memeriksa kondisi Kusuma. Dokter itu hanya bisa menarik nafas panjang melihat kondisi Kusuma saat ini.
“Bapak sepertinya harus segera mendapat tindakan. Ini sangat bahaya buat Bapak.” Wijaya terdiam dan tak tau harus bagaimana.
Wijaya keluar dan tampak meneteskan air mata. Tak kuasa dia harus melihat anaknya terbaring tak berdaya seperti ini.
“Pak Wijaya.”
“Rum. Kau ada kenalan dokter?”
“Gak ada Pak. Dokter yang selama ini saya kenal adalah dokter yang sejak dulu mengangani Umar.”
“Dimana dia sekarang ini, Rum?”
“Maaf Pak, apa dia memang cocok untuk Mas Kusuma?”
“Rum.”
“Baik Pak. Saya akan hubungi dokter itu.”
“Mbak, tidak perlu menghubungi dokter lain. Saya ada kenalan dokter di RSUD. Bisa kita datang ke sana untuk kondisi Pak Kusuma.”
“Dokter? Di RSUD?”
“Iya Mbak.”
“Lakukan Mas. Lakukan yag terbaik untuk anak saya.” Lelaki itu hanya bisa tersenyum. Dia sangat bersyukur, ternyata Kusuma masih ada keluarga yang perhatian dengannya.
“Pak, Bapak ini…”
“Iya Mas. Aku ini yang kemarin. Aku memang kecewa sama anakku. Tapi, aku tidak mungkin tega melihat dia seperti ini. Apalagi, anaknya sekarang ini sedang sakit.”
“Anak?”
“Iya. Anak dari pernikahan sebelumnya. Dia sudah memberiku seorang cucu.”
“Bukankah seharusnya dia sudah besar?” Wijaya terdiam dengan pertanyaan itu.
“Maaf, saya mewakili. Memang, dia sudah besar. Dia sekarang sudah bekerja. Tapi, kondisi tubuhnya sekarang sedang tak baik. Kondisi tubuhnya ada penyakit yang membuat ananda tidak bisa nekerja seperti dulu.” Lelaki yang ternyata selama ini menemani Kusuma hanya terdiam. Dia sangat ingat anak itu. Anak yang dulu sempat berhasil melumpuhkan Kusuma beserta Suci. Entah berapa kali mereka harus dilumpuhkan oleh anak itu.
Lelaki itu tiba-tiba menangis. Dia terlihat sangat tertekan dengan apa yang terjadi di masa lalu.
“Sudah tiga tahun ini Pak Kusuma harus berjuang seorang diri. Dia berjuang melawan penyakitnya seorang diri setelah istrinya kabur menggondol semua uang dan hanya menyisakan hutang yang sangat besar.” Mereka terdiam dan tak berani berkomentar. Tak lama, Kusuma sadar. Ketiga orang itu hanya bsa bernapas lega saat melihaty Kusuma menyebut nama anaknya.
***
“Bulek, Bulek darimana?”