“Dokter, aku sudah bersalah sama Ibu Dok. Aku sudah salah sama Ibu.” Umar langsung saja memeluk Shaka. Umar menangis sejadi-jadinya. Shaka hanya bisa membiarkan Umar menangis dan menumpahkan semua yang ada dalam hatinya.
“Mas Umar, sudahlah Mas. Yang penting, sekarang Mas Umar tenangkan diri dulu. Besoj ada janji dengan Mas Fajrin kan?”
“Iya Dok.”
“Bisa aku ceritakan semua ini pada Mas Fajrin. Aku sangat yakin, Mas Fajrin akan sangat mau membantu untu masalah yang sekarang ini sedang kau hadapi.”
“Dokter, tapi Dokter janji kan, mau menemani aku.”
“Aku akan ada sama kamu Mas. Aku akan selalu berusaha mengerti kamu.”
“Terima kasih Dokter.” Shaka sendiri tak terasa meneteskan air mata. Selama ini, yang menjadi penguat Shaka hanya sang ibu dan adiknya. Keluarga dari pihak Ibunya, sudah lama berpisah dan entah sekarang dimana keberadaannya. Sedangkan, keluarga dari jalur ayahnya tak begitu harmonis dengannya. Shaka masih ada luka dengan keluarga dari pihak ayah.
“Shaka, kau di sini Le?” Ismawati datang dan melihat Umar sedang bicara dengan Shaka.
“Budhe Is?”
“Ada perlu apa Le?” Shaka memberi kode agar Ismawati diam sebentar saja. Terlihat Umar sedang menangis. Ismawati terdiam melihat semua itu. Ismawati juga melihat ada air mata di wajah Shaka.
Ismawati terdiam. Ingatannya terlempar saat kejadian 13 tahun yang lalu. Kejadian yang sangat menyakitkan dalam diri Shaka. Hal yang sama telah mereka lalui. Umar juga tampak menjaga jarak darinya.
Setelah Umar selesai menangis, dia melihat keberadaan Ismawati di tempat ini. Tak ada sambutan hangat seperti saat Umar bertemu Arumi. Ismawati sendiri sangat mengerti. Tapi, entah sampai kapan semuanya harus menjadi seperti ini? Umar selalu saja menjaga jarak darinya. Entah sudah berapa tahun Umar menjaga jarak darinya. Ditambah lagi, sejak kejadian di rumah sakit, terlihat jelas jarak yang Umar bangun dengan dirinya.
“Nduk, kenapa kamu Nduk?” Yuni datang dan melihat Ismawati tampak bersedih. Ismawati tampak sakit hati dengan apa yang Umar lakukan. Tapi, kali ini dia tak bisa mengungkapkan amarah itu. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hati putrinya.
“Gak apa-apa Bu. Gak apa-apa.”
“Ismawati, jawab yang benar. Apa yang terjadi?”
“Gak ada apa-apa Bu. Umar, ini buat kamu Le. Tolong diterima ya.” Ismawati tersenyum dan langsung saja pergi. Hatinya begitu perih mengingat semua yang pernah terjadi. Hatinya sangat sakit, melihat Umar yang seolah membangun jarak darinya. Ismawati tak kuasa untuk menumpahkan amarah itu. Dia sangat tak bisa marah pada Umar. Entah, sudah berapa kali dia marah dan justru membawa dampak yang sangat buruk bagi Umar.
“Nduk.”
“Bu, biarkan anak kita menenangkan diri. Dia sepertinya ada sesuatu yang mengganjal. Biarkan dia menenangkan diri. Kita akan datang di lain waktu.” Wijaya langsung meminta agar sang istri tak mengejarnya.
“Pak, tapi Ismawati Pak.”
“Iya Bu. Kita biarkan dia menenangkan diri dulu.” Yuni terdiam. Arumi sendiri mengirim pesan jika Ismawati harus tenang dulu. Dia akan datang ke rumahnya di saat yang tepat.
***
“Nduk, kamu ini kenapa sih?”
“Maaf Bu. Tapi, aku sangat bersalah sama Umar.”
“Nduk, aku tau. Aku sangat tau, kalo diantara kalian ini ada jarak. Kamu sekarang, coba dekati Umar ya, Nduk. Aku yakin, Umar akan luluh hatinya.”
“Apa Umar mau memaafkan aku Bu?”
“Sekeras apa sih hati Umar? Dia pernah kecewa sama Arumi, tapi juga akhirnya dimaafkan. Dia sekarang juga mencari Ibunya, bahkan merindukan Azura. Bukankah begitu, Rum?” Arumi tersenyum.
“Mbak, sekeras-kerasnya sikap Umar, dia tetap manusia. Dia tetap butuh perhatian dari orang sekitarnya. Dia tetap membutuhkan perhatian darimu. Memang, sekarang dia menjaga jarak. Tapi, ini bukan berarti kau tak pantas Umar sayangi. Kau sangat pantas untuk Umar sayangi.”
“Tapi Rum.”
“Mbak, Umar tidak sekeras itu.” Ismawati terdiam.
“Nduk, apa yang Arumi katakan memang itu kenyataannya. Umar tidak sekeras itu. Arumi bukan sekedar bicara, tapi dia sudah membuktikan. Memang, kali ini dia membangun jarak denganmu. Tapi, kau bisa menghancurkan jarak itu, bahkan dengan kelembutan saja. Kalo Arumi bisa, aku yakin, kamu bisa Nduk. Kamu sangat bisa.”