“Perjanjian itu sudah batal. Azura sudah pergi dan sekarang ini gak tau ada di mana. Arumi sudah mencarinya, tapi hasilnya nihil. Setelah bercerai untuk kedua kalinya, gak ada yang pernah tau dimana keberadaannya kali ini.” Kusuma terdiam. Entah bagaimana Umar harus melewati semua ini.
“Aku minta maaf Le.”
“Le, kita masafkan bareng. Eyang tau, ini sulit. Tapi, bukankah kamu ingin semua berkumpul?”
“Eyang.”
“Le, sudah seharusnya, kau merasakan keluarga lengkap. Sudah seharusnya, kau melihat keluarga yang kau inginkan selama ini. Bukankah itu yang pernah kau katakan sama bulek kamu?”
“Tapi Eyang, semua gak adil.”
“Le, eyang sudah banyak mengalami hal itu. Eyang sudah puas bahkan gak takut dengan ketidak adilan dari hidup ini. Eyang sudah sangat puas. Kamu harus akui. Sakit memang Le. Tapi, kita mau bagaimana lagi.”
“Eyang, kenapa harus aku?”
“Kita yang terpilih Le. Kita yang dipilih. Eyang tau kamu kecewa. Tapi, gak selamanya kamu harus kecewa seperti ini kan?”
“Mas Umar, apa yang dikatakan Eyang kamu benar juga. Beliau sudah kenyang dengan pengalaman dalam hidupnya. Memang, beliau gak merasakan kondisi kamu. Tapi, aku rasa masalah lika-liku kehidupan ini sudah banyak yang beliau lewati.” Umar akhirnya menangis. Umar memeluk Shaka. Shaka hanya membiarkan semua itu terjadi.
“Dokter, ini semua gak adil.”
“Sudah Mas. Semua sudah digariskan. Insya Allah semua ada sesuatu yang sudah disiapkan untukmu.” Umar terdiam. Shaka tersenyum dan meminta agar Umar bisa ikhlas.
Umar sendiri akhirnya pergi. Dia harus kerja dan sepertinya sudah ditunggu oleh salah seorang temannya. Salah seorang teman yang kebetulan menunggunya di depan rumah sakit.
“Umar, gimasna kondisimu?”
“Sehat. Aku gak apa-apa.”
“Beneran gak apa-apa?”
“Beneran. Aku gak apa-apa.”
“Kok sepertinya ada yang mengganjal?” Umar tersenyum pada temannya.
“Gak ada apa-apa. Ya sudah, kita berangkat. Takut terlambat.” Lelaki yang ada bersama Umar langsung saja melajukan motornya. Sebenarnya, dia tau jika ada sesuatu yang mengganjal.
***
Beberapa bulan kemudian.
Malam itu. Dini hari saat orang bermunajat. Umar sudah terjaga. Umar ingin sekali dekat dengan sang kuasa. Dia ingin sekali bisa dekat dengan sang kuasa. Dia bersujud dan ingin sekali menangis dan meminta ampunan. Ampunan yang dia selalu inginkan. Ampunan dan Kasih sayang yang diinginkan seluruh umat beragama.
“Ya Allah, aku meminta ampunan darimu. Aku meminta ampunan atas semua kesalahan di masa laluku.” Kata-kata itu, tak lepas dari bait-bait doa yang selalu Umar lantunkan. Tetes demi tetes air mata selalu keluar. Dia mengingat betapa hancurnya hidup selama ini. Kali ini, dia hanya ingin kasih sayang dari sang kuasa.
Umar sendiri selesai. Ingin sekali dia mengerjakan hal lain. Beberapa obat yang harus dia konsumsi selama beberapa bulan terakhir, menjadi temannya. Umar sendiri mendengar tangisan seorang wanita. Wanita yang beberapa tahun terakhir hidup bersamanya. Wanita yang sudah menjadi pengganti orang tuanya.
“Eyang. Eyang kenapa?” Umar mendekat ke kamar wanita itu. Terlihat Yuni tengah bersujud. Umar terdiam mendengar segala doa yang dilantunkan perempuan berusia senja tersebut.
“Ya Allah, aku minta dengan segala kerendahan hati, izinkan aku berkunjung ke tempat mulia. Izinkan aku untuk mengunjungi rumah agungmu. Aku ingin sekali, sebelum kau memanggilku ke hadapanmu, bisa berkunjung ke baitullah. Sekali saja Ya Allah. Sekali saja.” Umar hanya terdiam mendengar doa itu. Ingin sekali Umar mewujudkan harapan dari neneknya. Entah bagaimana caranya dia bisa mewujudkannya.
Tak lama, kaki Umar mengenai kursi. Umar merasakan sakit. Yuni yang mendengar suara itu langsung saja mendekat. Terlihat Umar sudah duduk dan memijat kakinya.
“Le, kenapa kamu ini Le?”