“Rum, memang semuanya benar. Dibanding sama istriku, dia lebih nurut sama kamu. Walaupun dia sudah di sini, aku lihat dia sangat menghormati kamu.”
“Tapi…”
“Rum, semarah-marahnya Umar sama kamu, dia tetap cerita masalahnya pada kamu kan? Ingat gak selama SMA? Berapa banyak cerita yang kamu dengar darinya? Termasuk, soal dia harus pindah tempat kerja, kamu yang tau lebih dulu kan?” Arumi terdiam.
“Nduk, Arumi, tolong beritahu dia. Perlahan saja Nduk. Aku yakin, dia akan lebih bisa mendengar omonganmu.” Arumi tak ada pilihan lain. Dia akhirnya mengiyakan. Tak terasa, Umar kali ini sudah siap. Dia sudah berpakaian rapi dan siap berangkat.
***
“Umar, kau yakin mau menemani eyang kamu umroh?”
“Iya Dokter.”
“Umar, untuk kondisi kamu sekarang ini, sebenarnya tidak begitu mengkhawatirkan. Tapi, nanti menjelang berangkat, aku cek lagi. Semoga gak apa-apa. Kamu jaga kesehatan saja. Sering ikuti apa yang saya dan mas Zavier sarankan. Insya Allah kamu sehat kok. Kamu sehat dan kamu bakal baik-baik saja.”
“Terima kasih Dokter. Terima kasih.”
“Umar, ditata lagi niatnya. Ini bukan semata-mata menemani eyang kamu. Tapi ini kesempatan. Kamu salah satu orang yang mendapat panggilan istimewa dari Allah. Kamu orang terpilih. Tidak semua orang bisa terpilih dan seperti kamu sekarang ini.”
“Iya Mas. Terima kasih sudah diingatkan.” Zavier banyak berpesan pada Umar. Ada beberapa hal yang memang harus Umar siapkan dengan begitu matang sebelum dia terbang menuju tanah impian umat islam di seluruh penjuru dunia.
“Ibadah yang akan kau hadapi ini ibadah fisik. Banyak kegiatan yang perlu kesiapan fisik. Kamu latihan saja. Mungkin jalan tipis-tipis. Biar gak begitu kaget saat di sana. Di sana juga gak seperti di Indonesia. Sangat berbeda dari Indonesia.” Umar hanya tersenyum. Dia hanya terus mengucapkan terima kasih.
“Satu lagi Le, bersihkan hati kamu. Jangan pernah ada dendam pada siapapun. Bulek tau, ini berat. Tapi itu harus kau lakukan Le. Kenapa? Karena kamu bakal jadi tamu Allah. Masa jadi tamu Allah ada hal yang mengganggu hati?” Umar terdiam dan ingat jika dia sedang tak enakan dengan beberapa orang, terutama dengan Ismawati.
“Mas, apa yang dikatakan bulek kamu itu benar. Mungkin berat. Tapi, aku yakin Mas Umar bisa. Libatkan Allah di setiap proses yang kita jalani. Semoga semua yang Mas Umar akan jalani mendapat kemudahan dari sang kuasa.” Umar tersenyum.
Tak lama, Fajar sendiri mendekati Umar. Melihat senyuman itu, dia sangat ingat dengan masa lalu mereka. Terlihat Fajar meneteskan air mata. Fajar sangat bersyukur kali ini Umar bisa berada di tempat ini dan bisa mengikuti pembinaan bersamanya.
“Mas Fajar?”
“Enggak ada Dek. Gak ada sesuatu.”
“Terus, kenapa Mas Fajar bisa menangis?”
“Umar, ini sudah berlalu. Kita hanya boleh ingat untuk sekedar mengambil pelajaran. Kita sekarang ini, kewajibannya membuat waktu yang akan kita lalui penuh dengan cahaya.” Umar terdiam. Dia tau, pasti semua ini ada hubungannya dengan geng yang pernah mereka ikuti.
“Mas Fajar ingat…” Fajar langsung saja meminta Umar tak lagi mengingat masalah geng itu.
“Jangan mengingatkan geng itu lagi. Aku sudah berusaha melupakan semua itu. Itu kita anggap masa lalu yang kelam. Sudahlah, masa lalu itu, gak perlu diingat. Alhamdulillah, kita bisa ada di sini.” Umar hanya tersenyum. Dia memang tak lagi mau mengingatnya.
“Mas Fajar, kenapa?”
“Umar, aku sebenarnya memang ingat semua yang pernah kita lalui. Tapi, sekali lagi, kita gak mungkin mengingat itu dan merindukannya. Sekarang ini, kita kan sudah berada di sini dan teman yang lebih baik. Aku, beruntung bisa di sini. Tetap sama kamu, tapi lingkungan yang berbeda.” Umar sendir hanya terdiam dan mengiyakan. Dalam hati, dia sebenarnya sangat menyayangkan Pras dan Sigit yang belum sempat dia temui sebelum akhirnya dia mendapat kabar mereka sudah meninggal.
“Mas, padahal aku mau bertemu Mas Pras kembali.”
“Lupakan itu Umar. Lupakan itu. Jangan pernah lagi mengingat tentang Pras dan apapun itu yang ada hubungannnya dengan geng motor. Jangan lagi mengingatkan pada hal itu.”
“Mas, tapi kenapa?” Fajar tampak mneteskan air mata. Bagaimana dia harus menjelaskan semuanya pada Umar?
“Umar, kau gak marah kalo aku menceroiytakan yang sebenarnya?”
“Ada apa Mas?”
“Mereka semua telah memperdayai kamu.”