Umar sendiri menatap kotak tua. Kotak tua yangh berisi tumpukan kertas. Tampak tetes demi tetes air mata keluar. Tapi, semua itu harus disembunyikan saat eyangnya datang.
“Le, kamu kenapa Le?”
“Gak apa-apa Eyang. Aku gak apa-apa.”
“Kamu ngapain?”
“Enggak Eyang. Gak ada.”
“Kamu itu, ada tamu malah sembunyi sendirian.”
“Maaf Eyang.”
“Ayo Le, keluar. Temui tamu.” Umar langsung saja keluar dan terlihat Zavier masih duduk di ruang tamu. Zavier tamnpak ingin mengajak Umar.
“Umar, mau ikut aku?”
“Kemana?”
“Ayo.” Umar mengikuti langkah Zavier yang ternyata mengajaknya bertemu sang ayah. Kusuma sendiri yang melihat Umar bersama Zavier hanya bisa tersenyum. Entah apa yang harus dia lakukan saat bersama anaknya.
“Le.” Umar sendirii berat rasanya menjawab sapaan itu. Berat sekali dia menatap lelaki yang telah membuat masa kecilmnya menjadi seperti itu.
“Mas Umar, kok gak dijawab?”
“Berat Mas. Berat rasanya.”
“Mas Umar, aku tau berat memang. Tapi, ini harus dilakukan. Kamu harus bisa memaafkan orang yang pernah jahat sama kamu.”
“Tapi, itu semua gak seharusnya terjadi. Mereka yang seharusnya menyayangiku, justru harus melakukan hal yang sangat menyakitkan.”
“Perlahan saja. Semua orang pasti sakit kalo mengalami itu. Bahkan, Baginda Nabi juga merasakan sakit seperti yang kau rasakan. Memang, maaf tidak bisa menghilangkan sakit itu dengan sekejap. Tapi, kamu akan biasa. Akan terbiasa bertemu dengan orang yang menyakitimu, seakan tidak pernah terjadi apapun.”
“Sulit melenyapkan dan sulit melupakan. Ketika aku melihat orang ini, semua ingat.”
“Aku tau. Dan Baginda Nabi pernah berada di posisimu.” Umar terdiam beberapa saat.
“Baginda Nabi?”
“Iya Mas.kita harus bisa, meneladani apa yang pernah Beliau contohkan.”
“Aku, kenapa susah?”
“Mas, Baginda Nabi itu, juga manusia. Bisa marah, kecewa, bahkan bisa juga menangis. sama seperti kita. Kita berusaha bisa meniru apa yang Beliau contohkan. Memang, tidak bisa sama. Tapi, kan bisa mendekati. Mendekati sampai hal yang paling dekat.”
“Apa aku bisa?”
“Insya Allah. Kau bisa. Apalagi, dua bulan lagi, Mas Umar mau ke tanah suci. Gak baik lho Mas, pergi ke tanah suci, tapi masih belum memaafkan.”
“Tapi, aku masih sakit hati.”
“Mas, menyembuhkan sakit hati itu, gak bisa instan. Jangan pernah berhenti berdoa sama Allah. Kalo memamg sakit itu masih ada di tanah suci, di sana tempat yang sangat manjur untuk berdoa.” Umar terdiam dan tampak meneteskan air mata.
“Apa aku layak jadi tamu sang kuasa?”
“Layak atau enggak, aku gak bisa mengatakan hal itu. Itu yang bisa menilai hanya sang kuasa. Tapi, kalo kamu sudah mendapat panggilan ke tanah suci, mungkin saja, kamu layak bahkan dirindukan oleh sang kuasa.”