“Imran, kau diam aja. Aku hanya ingin datang ke sini dan mengecek kondisi rumah ini.”
“Tapi buat apa Kak? Ini kan sudah kosong sejak beberapa tahun yang lalu.” Umar meminta saudaranya untuk tetap diam. Dia tak ingin jika keberadaan mereka di tempat ini.
Umar memberanikan diri untuk mendekat bahkan memasuki gubuk itu. Tak dikunci sepertinya. Terlihat, di dalam kondisinya sangat berantakan. Tak ada barang yang berubah posisi. Dia juga melihat alas. Alas yang terakhir digunakannya bersama Pras melakukan hal yang begitu hina.
“Kak, ayo pulang! Eyang sudah nyariin Kak Umar.” Umar hanya bisa tersenyum dan akhirnya memilih mengikuti Imran. Dia juga tak mau ada sesuatu yang justru membahayakan dirinya dan Imran.
***
Umar terdiam di rumahnya. Rumah yang selama ini menjadi tempat tinggal dari nenek dan kakeknya. Dia memperhatikan segala dokumen yang harus dipersiapkan sebelum lepas landas menuju tanah suci.
Umar juga memperhatikan rumah itu. Rumah yang akan dia tinggalkan. Rumah yang terukir kenangan yang entah apa itu bentuknya. Mengingat masa lalunya yang penuh dengan air mata dan kekecewaan, Umar tak terasa meneteskan air mata. Hidup yang begitu kejam. Sangat kejam untuk dia lewati.
Selama ini, kata-kata Zavier dan Fajrin yang selalu menguatkannya. Kata-kata yang selalu membuat Umar punya semangat untuk hidup dan terus memperbaiki diri.
“Le, kamu kenapa Le? Ini masih pagi. Belum juga shubuh.”
“Kakek. Gak ada apa-apa Kakek.”
“Terus?”
“Kek, aku minta maaf Kek. Aku minta maaf. Aku mohon maafkan aku sebelum aku harus pergi ke tanah suci.” Umar mencium tangan sang kakek yang sudah berkeriput. Wijaya sendiri terdiam dan tampak meneteskan air mata. Tak bisa dia pungkiri, mereka saling menyayangi. Wijaya sendiri sangat mendukung Umar yang ingin bisa berubah. Tak pernah dia marah mendengar semua fakta yang terjadi selama ini.
“Le, maaf itu sudah kakek berikan jauh sebelum kamu memintanya Le. Kakek yang harusnya meminta maaf Le. Kakek yang harusnya meminta maaf sama kamu. Kakek ini sebenarnya sudah tua. Sudah gak begitu awas. Tapi, percayalah Le, kakek sangat menyayangi kamu.”
“Kakek.”
“Le, titip Eyang kamu ya Le. Jaga Eyang kamu. Kakek yakin, kamu bisa jadi pendamping eyang kamu selama berada di tanah suci.”
“Kakek, banyak yang akan menjaga Eyang selama di tanah suci. Banyak yang mengenal kami di tanah suci. Kakek gak perlu khawatir. Insya Allah Eyang gak apa-apa.” Umar sendiri tersenyum.
“Le, terus, kamu bagaimana Le?”
“Gak usah mengkhawatirkan aku Kek. Aku akan baik-baik saja. Kalau saja aku tidak kembali, aku hanya minta doa yang baik.”
“Le, kamu akan kemnbali Le. Kamu akan kembali ke Indonesia. Insya Allah kamu akan selamat dan gak ada sesuatu yang terjadi.” Umar hanya tersenyum dengan apa yang dibicarakan kakeknya.
Dini hari itu, Wijaya membantu istri dan cucunya menyiapkan semua kebutuhannya sebelum esok hari mereka harus lepas landas.
“Jam 8 harus di bandara Kek.”
“Kakek akan antar kamu Le. Aku akan mengantar kalian berdua.” Mereka hanya tersenyum. Waktu tak terasa berjalan. Hari sudah pagi, dan sudah saatnya Umar dan Yuni berangkat menuju bandara.
Terlihat, anak-anak Yuni selain Kusuma, berada bersamanya. Mereka ingin mengantar mereka ke bandara sebelum terbang ke tanah suci. Keluarga dari Azura juga tampak hadir. Mereka ingin melepas keponakan mereka yang kali ini mendapat kehormatan untuk bisa melaksanakan ibadah umroh bersama eyang yang dia sayangi.
“Bulek Arumi, aku minta keikhlasan maafnya Bulek.”