***
Beberapa hari setelah keberangkatan Umar ke tanah suci.
“Eyang.”
“Kenapa Le?”
“Sudah hampir seminggu kita ihram Eyang. Sebentar lagi pulang. Sebentar lagi aku mau pulang.”
“Iya Le. Kita di sini kan jatahnya maksimal dua minggu saja.” Umar terdiam dan tersenyum memandangi neneknya. Dia sepertinya bersinar sekali hari ini.
“Eyang, orang-orang yang berbaris di depan hotel itu siapa Eyang? Kenapa mereka kelihatan menyambut kita beruda saja?”
“Orang yang mana sih Le? Mana ada orang yang menyambut kita? Mereka kan jamaah umroh sama seperti kita. Mereka yang mana?”
“Lho, kok Eyang gak lihat?”
“Sudah Le. Ayo kita ke Masjidil Haram. Masih banyak ibadah yag harus kita selesaikan. Mumpung ini hari jumat.”
Umar sendiri berjalan. Sepanjang perjalanan, Umar tampak tersenyum. Yuni hanya bisa terdiam melihat sang cucu begitu senang hari ini. Entah apa yang dia lihat sehingga bisa senang seperti kali ini.
Wanita tua itu tak banyak bertanya. Seorang wanita langsung mendekati Yuni dan memandu Yuni untuk melaksanakan ibadah yang ingin dia kerjakan di hari yang begitu mulia. Terlihat, para jamaah tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Hari mulia di tempat yang sangat mulia. Mereka melaksanakan ibadah dan berdoa sesuai keperluan masing-masing.
Umar sendiri terlihat sedang sholat. Sambil menunggu waktu sholat jumat, Umar melaksanakan sholat sunnah dan berniat untuk berdiam diri di Masjid itu sampai pelaksanaan sholat jumat selesai. Umar sujud. Sujud yang sangat lama. Sangat lama dan tak seperti biasanya. Yuni mendekati sang cucu dan tampak khawatir.
“Umar. Umar.” Yuni tampak kebingungan. Umar sudah sujud hampir 25 menit dan belum juga bangun.
“Le. Le. Kamu gak apa-apa kan Le? Kamu gak sakit kan?” Yuni tampak bingung dan memanggil beberapa orang yang ada di sekitar. Melihat wanita itu melambaikan tangan, mereka mendekat dan berusaha membangunkan Umar. Umar sendiri langsunhg berubah posisi dengan sendirinya. Terlihat matanya terpejam dan tak bergerak sama sekali. Salah seorang diantara mereka langsung saja memeriksa nafas dan denyut nadi lelaki muda itu.
“Innalilahi wa innailaihi rojiun.” Ucapan itu diikuti oleh beberapa orang. Terlihat beberapa rang Indonesia juga ikut mendekat dan mengetahui jamaah yang telah meninggal berasal dari negara yang sama.
“Le, kenapa kamu pergi secepat ini Le? Kenapa Le?”
“Bu, yang sabar ya Bu. Ananda sudah pergi. Allah sayang sama Ananda. Dia sekarang dapat hal yang istimewa dari sang kuasa Bu.” Yuni langsung saja memeluk wanita itu.
“Nak, cucuku bisa pergi dengan kondisi yang begitu indah seperti sekarang ini.”
“Bu, semoga Ananda dapat posisi yang terbaik di sisi sang kuasa. Semoga segala kesalahan yang dia lakukan semasa hidup mendapat ampunan dari sang kuasa.” Yuni langsung berdoa untuk sang cucu. Yuni berdoa agar cucunya mendapat rahmat dan ampunan dari sang kuasa. Semua orang meng-aamiin-kan doa wanita tersebut.
Umar langsung dirawat sesuai ajaran agama. Yuni hanya bisa melihat jenazah cucunya dimandikan hingga sampai di tempat pemakaman selayaknya manusia dan sesuai tuntunan dari agama yang dianut.
“Le, bagaimana Eyang kamu ini bisa berziarah ke makam kamu Le? Makam kamu berada di tanah yang mulia ini. Eyang kamu sekitar semingggu lagi harus pulang ke Indonesia.”
“Bu, sabar ya. Bisa didoakan di Indonesia. Semoga ananda bisa menjadi penghalang Ibu dari api neraka. Semoga ananda bisa menjadi penyelamat Ibu di akhirat kelak.” Yuni hanya bisa mengiyakan. Yuni hanya bisa memandangi makam cucunya dari luar area pemakaman. Tak pernah disangka, jika perjalanan jauh ini akan pulang tanpa Umar.
Yuni sama sekali tak pernah menyangka, apapun yang Umar ceritakan sebelum berangkat adalah pertanda dia ingin pergi dan dia harus pergi dari dunia ini.
***
Arumi kali ini bermimpi. Mimpi dia bersama Umar dan sedang berada di rumahnya. Senyumnya seperti biasa, menambah sinar di wajahnya.
“Bulek.”
“Le, kamu pulang Le?”
“Aku sudah pulang Bulek. Aku sudah pulang. Aku dipanggil sama Kanjeng Nabi.”
“Le, maksud kamu apa Le?”
“Aku sudah pulang Bulek.”
“Duduklah Le. Ada apa ini Le?”