Naskah sang kuasa

Zainur Rifky
Chapter #77

kehilangan Umar

Sebuah foto kembali mengingatkan kenangan saat Umar berbuat salah. Dia langsung meminta maaf dan tak ingin sampai Arumi memarahinya.

“Bulek, jangan marah Bulek.” Umar tampak meneteskan air mata dan memegang tangannya.

“Kamu itu ya, kenapa sih susah banget dikasih tau?”

“Bulek. Maaf Bulek. Aku gak mau mengulangi lagi.”

“Ini sudah kali keberapa? Sudah kali keberapa kamu berbuat seperti ini?”

“Bulek, jangan marah Bulek. Jangan marah.”

Arumi tak akan pernah melupakan semua itu. Masa yang sangat indah. Masa saat dia mendapat kepercayaan untuk merawat anak luar biasa seperti Umar.

“Rum.”

“Mbak, aku gak pernah melihat Umar begitu bahagia. Aku, melihat dia bahagia saat Umar mendapat hadiah dariku. Saat dia dapat gelar bintang kelas. Saat dia dapat prestasi yang gak main-main.”

“Rum, aku berani mengatakan, kalo kamu yang paling bisa menghadapi Umar dengan segala permasalahannya. Jarang aku dengar Umar ada masalah saat bersama kamu. Mungkin, karena keluguan dan kepolosannya, hampir dia konsumsi narkoba. Tapi, berkat kamu, dia gak jadi menjadi pecandu. Dia gak mau mengtecewakanmu.”

“Mbak, aku memang melarang dia. Saat dia mulai konsumsi, aku berani menghukumnya. Tapi, aku memang harus perhitungan. Hukuman bagi Umar, harus bikin dia kapok, bukan takut sama kita.”

“Itu yang jadi salahku Rum. Itu yang jadi salahku. Aku terlalu keras dan mengekangnya. Dia malah memusuhiku selama ini. Bahkan dia menolak keras saat dia akan aku rawat dan tinggal di tempatku.” Arumi terdiam. Dia ingat momen malam itu. Bahkan Umar terang-terangan ingin jadi preman di jalanan daripada harus tinggal bersama Ismawati.

“Mbak. Aku tau apa yang kau rasakan.”

“Aku dicibir sama warga sekitar. Aku memang gak seharusnya merawat Umar. Aku memang gak seharusnya merawat dan membesarkan dia. Mungkin harus kamu yang merawat Umar mulai kecil.”

“Mbak Is, itu sudah terjadi. Gak perlu disesali. Kita berdoa saja untuk keponakan kita. Keponakan yang sama-sama kita sayangi.” Ismawati hanya terdiam. Dia akhirnya mengiyakan dan menggelar tahlil walau hanya beberapa orang saja yang hadir.

“Permisi, benar rumah Bu Yuni?”

“Iya Mas. Ada perlu apa?”

“Ada titipan Bu.”

“Dari siapa Mas kalo boleh tau?”

“Dari Bu Azura.” Azura? Menitipkan barang ke rumah ini?

“Terima kasih Mas.” Lelaki itu pergi. Ismawati terdiam dan menatap barang itu. Barang yang seharusnya untuk Umar. Tapi, Bagaimana mereka menyampaikannya? Umar sendiri sekarang ini sudah pergi dari dunia ini?

“Mbak Is. Dari Mbak Azura?”

Lihat selengkapnya