Naskah sang kuasa

Zainur Rifky
Chapter #79

rindu Umar

“Tapi, Umar sudah meninggal. Dia sudah pergi. Aku ingin sekali memeluk dia.”

“Nduk, suatu saat nanti pasti akan ada saatnya. Ada saatnya kita bisa berkunjung ke tempat itu. Ada saatnya, aku akan kesana lagi dan mengajak semua orang yang aku sayangi.”

“Bu.”

“Nduk. Kalian bertiga. Kalo kemarin aku umroh bersama cucu aku. Aku ingin umroh bersama anak-anakku. Sama Ismawati, Astutik, Arumi, dan kau, Azura. Kita ziarah ke sana sama-sama Nduk. Satu keluarga. Sama Bapak juga.” Wijaya terdiam dan tersenyum.

“Bu, Ibu masih sanggup?”

“Kalo Allah memang masih memberi kesempatan aku untuk kesana, pasti ada jalan untuk bisa kembali ke sana.” Mereka hanya bisa tersenyum dan memelukm wanita tua itu.

Para warga yang berada di rumah Yuni dan ikut mendengar cerita Azura hanya bisa memeluk dan menguatkan wanita itu. Mereka memahami Azura yang seperti itu.

“Mbak Azura, kami minta maaf.”

“Gak perlu minta maaf Ibu-Ibu. Itu memang salahku. Aku tidak seharusnya meninggalkan anakku saat dia masih butuh kasih sayangku. Selamanya, dia akan terus mengenangku sebagai ibu paling buruk sepanjang hidupnya.”

“Mbak Azura, tapi Mbak bisa bertahan sampai sekarang ini.”

“Itu semua demi Umar. Semua sakit yang Umar berikan padaku selama ini, aku anggap itu hukuman buat aku. Itu belum sebanduing dengan sakitnya yang Umar rasakan. Tidak sebanding dengan rasa sakit yang dirasakan oleh Ibu, Mbak Ismawati, dan adikku Arumi. Banyak yang mereka korbankan untuk anakku. Itu sebenarnya aku yang harus melakukannya. Tapi, itu semua dilakukan oleh mereka. Mereka yang sesungguhnya menyayangi Umar.” Azura melihat kakak ipar dan adiknya. Mereka berdua yang merawat Umar layaknya anak mereka.

“Azura, berterima kasihlah dengan Arumi. Dia melalui fase berat ketika merawat Umar. Tapi, dia sudah membuktikan kali dia layak menjadi seorang ibu. Berat lho menghadapi Umar di usia segitu dengan segala permasalahannya. Tapi, Arumi bisa mengendalikan dirinya. Umar sangat senang saat tinggal dan dirawat adik kamu.” Azura sendiri melihat adiknya dengan senyuman.

“Terima kasih ya Rum. Terimakasih. Kamu akan dikenang Umar sebagai wanita hebat. Kamu yang hebat, bukan aku. Aku gak bisa melakasanakan tugasku. Tapi, kamu bisa menjadi ibu yang begitu luar biasa bagi keponakan kamu.”

“Mbak Azura, itu semua aku lakukan dengan Ikhlas. Dia hanya butuh dimengerti. Dia hanya ingin disayangi seperti anak-anak lainnya. Memang, terkadang kami gak sepaham. Tapi aku gak membiarkan Umar sampai lolos dari pengawasanku dan warga. Dia anakku. Dia adalah anakku.”

“Rum, maafkan aku Rum. Maafkan aku. Aku sudah salah selama ini. Aku siap mendapat semua konsekuensinya.”

“Mbak, sudahlah Mbak. Yang paling penting, Mbak Azura mau menjadi orang yang lebih baik. Umar bisa Mbak. Kamu pasti bisa.” Azura tersenyum dan terlihat mereka begitu akrab hari itu. Yuni yang melihat mereka begitu senang. Setelah kepergian Umar, malah ada sesuatu yang Allah siapkan baginya.

***

Dua tahun berlalu.

“Bulek Arumi.” Arumi terkejut dengan suara itu. Suara yang sangat dia rindukan.

“Le, kamu di sini?” Arumi melihat seorang anak muda yang sangat dia rindukan. Anak muda yang tak lain adalah Umar.

“Bulek.”

“Le, bulek kangen. Bulek kangen sama kamu Le.”

“Bulek, aku sekarang sudah gak tinggal sendirian. Banyak yang sayang sama aku. Banyak yang sayang sama aku Bulek.”

“Le, terus bagaimana dengan bulek kamu? Bulek selalu merindukan kamu Le.”

“Bulek, terima kasih ya selama ini. Terima kasih sudah menyayangiku.”

“Le, bulek harusnya yang ngucapkan terima kasih sama kamu. Kamu sudah mau hadir dalam hidup bulek. Terima kasih, sudah mau menganggap bulek sebagai ibu kamu.” Umar mencium tangan Arumi.

“Bulek, jangan pernah benci sama Ibu ya.”

“Le, kenapa kamu bilang seperti itu Le?”

“Kita gak tau apa yang dilalui Ibu selama ini.” Arumi tersenyum. Dia hanya mengiyakan apa yang baru saja Umar katakan.

“Le, kami rindu sama kamu. Bulek, Eyang, Kakek, dan Budhe. Semuanya rindu.”

“Terima kasih atas doanya. Ibu gak disebut?”

“Ibu kamu selama ini merasa gak pantas. Gak pantas menjadi Ibu kamu Le.”

“Bulek, kalo Ibu dulu gak seperti itu, kita gak akan pernah berjumpa. Aku gak akan pernah tau, kalo Bulek bisa menyayangiku.”

“Le, semoga ada kesempatan untuk berkunjung ke tempatmu.”

Lihat selengkapnya